Warta

As’ad Ali: NU Harus Membangun Politik Berorientasi Kerakyatan

Jumat, 17 Juni 2011 | 12:29 WIB

Jakarta, NU Online
Dalam kondisi politik seperti sekarang ini sudah waktunya NU membangun politik demokrasi yang lebih berorientasi pada kepentingan rakyat. NU dan partai berbasis massa NU harus menjadi pelopor untuk melakukan demokratisasi demokrasi di Indonesia. Harus mempelopori reorientasi politik dari system demokrasi liberal ke arah demokrasi baru yang lebih partisipatoris.

<>
“Itulah demokrasi popular, kerakyatan. Demokrasi yang berbasis pada gerakan kerakyatan dengan representasi kerakyatan,” demikian Wakil Ketua Umum PBNU H As’ad Said Ali dalam makalahnya dalam diskusi “NU dan Politik Indonesia Masa Depan” di The Wahid Institute (WI) Jakarta, Jumat (17/6).

Hadir sebagai pembicara dalam diakusi tersebut antara lain Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD, mantan Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi, Ketua Umum Muslimat NU Khofifah Indar Parawansa, Ketua Umum PKNU Khoirul Anam, Hj Shinta Nutiyah Abdurrahman Wahid, dan Direktur WI Zannuba Arifah Chafsoh (Yenny Wahid) dan lain-lain.

Mantan Wakil Kepala BIN ini menegaskan jika kini telah terjadi tiga krisis dalam proses demokratisasi Indonesia selama sepuluh tahun terakhir. Pertama, terjadi defisit demokrasi yaitu fenomena paradoksal meluasnya perkembangan hak-hak sipil politik di satu pihak, tapi tidak disertai pemajuan hak-hak sosial dan ekonomi di pihak lain.

“Itu kemudian melahirkan liberalisasi politik tanpa disertai meratanya kesejahteraan sosial ekonomi. Politik akhirnya hanya bisa diakses kaum elit yang menguasai sumber-sumber kekuasaan, ekonomi dan politik. Terjadi monopolisasi politik elit sekaligus memarginalisasi politik rakyat. Ini menjadi salah satu faktor politik berbiaya tinggi,” ujar As’ad lagi.

Kedua, monopolisasi politik elit itu membawa bencana, yaitu pembajakan demokrasi. Yang kemudian melahirkan politik oligarki atau oligarki demokratik. Di mana politik parlementer akhirnya hanya menjadi politik pertarungan kaum aligarkh, segelintir elit. Dan ketiga, demokratisasi hanya menjadi permainan kaum elit sebagai aktor utamanya, bahkan aktor satu-satunya.

Sebagai refleksi menurut As’ad, akibat ketiga krisis demokrasi tersebut adalah benar-benar menyimpan bahaya serius. Di mana rakyat kehilangan kepercayaan pada demokrasi, maka mereka akan lebih percaya pada bentuk kekuasaan kediktatoran dan sistem politik otoritarian.

“Dan, sikap politik NU yang tidak cukup kritis pada terjadinya krisis demokrasi parlementer partokratik di mana ia menjadi bagian di dalamnya sebagaimana diwakili PKB, bisa menimbulkan persepsi bahwa NU mendukung bentuk kekuasaan oligarkis. Ini hanya akan menjauhkan rakyat dan umat dari elit-elit politik NU,” ungkap As’ad.

Oleh sebab itu sudah saatnya kata As’ad, NU membangun politik demokrasi yang lebih berorientasi pada kepentingan rakyat. Hanya dengan cara itulah NU bisa memerankan kembali tiga peran politiknya yang esensial, yaitu sebagai perekat stabilitas masyarakat, peneguh NKRI di mana Negara bangsa Indonesia yang berlandaskan Pancasila ini sebagai bentuk final dan menjaga pluralism sosial dan toleransi keagamaan.

penulis: achmad munif arpas