Jakarta, NU Online
Semakin dangkal kajian seseorang terhadap agamanya, makin besar potensi radikalnya. Semakin mendalam dan lama belajarnya seseorang terhadap agamanya, makin lembut sikapnya.
Demikian dikatakan Sekretaris Rabithah Maâahad Islami (RMI) Miftah Faqih saat jadi pembicara pada Workshop Deradikalisasi Agama Berbasis Kiai dan Pesantren; Meneguhkan Islam Rahmatan lil Alamin, Ahad, (16/10), di Jakarta.
<>âKarena itulah, santri-santri NU tidak mungkin radikal. Bahkan dipaksa sekali pun. Santri-santri NU tidak tahu kalimat apa-apa kecuali kalimat perdamaian: Hum la yaârifuna qawlan illa qawlan salama (mereka tidak tahu perkataan, kecuali perkataan damai, red.) Kenapa? Karena garis perjuangannya itu banyak berdasar pada substansi,â jelas Miftah.
Miftah menambahkan, pesantren-pesantren NU memiliki beberapa fungsi, di antaranya mendidik dan mengajar seseorang dengan mendalam di bawah bimbingan kyai. âYang diajarkan tidak lepas dari tidak lepas dari Al-Quran, Hadits, Qiyas, pendapat ulama,â tambahnya.
Dikatakanya, transformasi dari keilmuan yang sudah didalami ke dalam tindakan-tindakan, sehingga banyak sekali pesantren yang menjadi pioner perubahan. Fungsi lain dari pesantren adalah penguatan, yaitu fungsi sosial pesantren ke masyarakat (dakwah).
Lebih jauh ia mengatakan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan yang paling tua di negeri ini, yang punya kontrubusi luar bisa dalam pemanusiaan manusia Indonesia dalam penanaman nilai berbangsa dan bernegara. Dan terbukti tidak pernah melahirkan Islam radikal.
Workshop yang berlangsung dari hari Sabtu (15/10) dibuka Wakil Sekretaris Jendral PBNU, Imdadun Rahmat, dan akan berakhir hari ini (17/10). Acara ini diikuti 50 peserta yang terdiri dari para kiai, nyai, ustadz, santri senior dan daâi NU. Workshop ini diselenggarkan atas kerja sama Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Penulis: Abdullah Alawi
Demikian dikatakan Sekretaris Rabithah Maâhad IslamI (RMI) Mitah Faqih saat jadi pembicara pada Workshop Deradikalisasi Agama Berbasis Kiai dan Pesantren; Meneguhkan Islam Rahmatan Lil-Alamin Ahad, (16/10), di Jakarta.
âKarena itulah, santri-santri NU tidak mungkin radikal. Bahkan dipaksa sekali pun. Santri-santri NU tidak tahu kalimat apa-apa kecuali kalimat perdamaian: Hum la yaârifuna qawlan illa qawlan salama (mereka tidak tahu perkataan, kecuali perkataan damai, red.) Kenapa? Karena garis perjuangannya itu banyak berdasar pada substansi,â jelas Miftah.
Miftah menambahkan, pesantren-pesantren NU memiliki beberapa fungsi, di antaranya mendidik dan mengajar seseorang dengan mendalam di bawah bimbingan kyai. âYang diajarkan tidak lepas dari tidak lepas dari Al-Quran, Hadits, Qiyas, pendapat ulama,â tambahnya.
Dikatakanya, transformasi dari keilmuan yang sudah didalami ke dalam tindakan-tindakan, sehingga banyak sekali pesantren yang menjadi pioner perubahan. Fungsi lain dari pesantren adalah penguatan, yaitu fungsi sosial pesantren ke masyarakat (dakwah).
Lebih jauh melanjutkan di mengatakan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan yang paling tua di negeri ini, yang punya kontrubusi luar bisa dalam pemanusiaan manusia Indonesia dalam penanaman nilai berbangsa dan bernegara. Dan terbukti tidak pernah melahirkan Islam radikal.
Workshop yang berlangsung dari hari Sabtu (15/10) dibuka Wakil Sekretaris Jendral PBNU, Imdadun Rahmat, dan akan berakhir hari ini (17/10). Acara ini diikuti 50 peserta yang terdiri dari para kiai, nyai, ustadz, santri senior dan daâi NU. Workshop ini diselenggarkan atas kerja sama Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Penulis: Hamzah Sahal
Islam Radikal, Islam Dangkal
Semakin dangkal kajian seseorang terhadap agamanya, makin besar potensi radikalnya. Semakin mendalam dan lama belajarnya seseorang terhadap agamanya, makin lembut sikapnya.
Demikian dikatakan Sekretaris Rabithah Maâhad IslamI (RMI) Mitah Faqih saat jadi pembicara pada Workshop Deradikalisasi Agama Berbasis Kiai dan Pesantren; Meneguhkan Islam Rahmatan Lil-Alamin Ahad, (16/10), di Jakarta.
âKarena itulah, santri-santri NU tidak mungkin radikal. Bahkan dipaksa sekali pun. Santri-santri NU tidak tahu kalimat apa-apa kecuali kalimat perdamaian: Hum la yaârifuna qawlan illa qawlan salama (mereka tidak tahu perkataan, kecuali perkataan damai, red.) Kenapa? Karena garis perjuangannya itu banyak berdasar pada substansi,â jelas Miftah.
Miftah menambahkan, pesantren-pesantren NU memiliki beberapa fungsi, di antaranya mendidik dan mengajar seseorang dengan mendalam di bawah bimbingan kyai. âYang diajarkan tidak lepas dari tidak lepas dari Al-Quran, Hadits, Qiyas, pendapat ulama,â tambahnya.
Dikatakanya, transformasi dari keilmuan yang sudah didalami ke dalam tindakan-tindakan, sehingga banyak sekali pesantren yang menjadi pioner perubahan. Fungsi lain dari pesantren adalah penguatan, yaitu fungsi sosial pesantren ke masyarakat (dakwah).
Lebih jauh melanjutkan di mengatakan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan yang paling tua di negeri ini, yang punya kontrubusi luar bisa dalam pemanusiaan manusia Indonesia dalam penanaman nilai berbangsa dan bernegara. Dan terbukti tidak pernah melahirkan Islam radikal.
Workshop yang berlangsung dari hari Sabtu (15/10) dibuka Wakil Sekretaris Jendral PBNU, Imdadun Rahmat, dan akan berakhir hari ini (17/10). Acara ini diikuti 50 peserta yang terdiri dari para kiai, nyai, ustadz, santri senior dan daâi NU. Workshop ini diselenggarkan atas kerja sama Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Penulis: Hamzah Sahal
Terpopuler
1
Rais Aam PBNU dan Sejumlah Kiai Terima Penghargaan dari Presiden Prabowo
2
NU Banten Membangkitkan Akar Rumput
3
Rais 'Aam PBNU Ajak Umat Islam Tanggapi Masa Sulit dengan Ilmu
4
Ketua PBNU Nilai BPKH Penting Tetap sebagai Lembaga Independen
5
Tidak Hanya Pelajar, BGN juga Targetkan MBG Menyasar Ibu Hamil dan Menyusui
6
Penerapan Sumpah dan Bukti di Pengadilan Islam: Studi Qasamah dalam Kasus Pembunuhan
Terkini
Lihat Semua