Warta Jelang Munas dan Konbes NU

Kewenangan Menteri Agama dalam Urusan Haji Perlu Dibatasi

Selasa, 25 Juli 2006 | 09:10 WIB

Jakarta, NU Online
UU No. 17 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji memberikan kewenangan yang terlelu besar kepada Menteri Agama tanpa diimbangi dengan sistim pengawasan yang seimbang. Hal ini rentan terhadap terjadinya penyimpangan-penyimpangan baik dilakukan pada level kebijakan, seperti penunjukan rekanan, maupun pada tahap operasional.

Ketentuan UU tersebut belum memenuhi aspirasi dan partisipasi masyarakat, sehingga upaya penyempurnaan sistem dan manajemen penyelenggaraan ibadah haji dan umroh perlu terus menerus ditingkatkan.

<>

Hal tersebut akan dibahas dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama di Surabaya, 27-30 Juli nanti, dalam Bahtsul Masail Diniyah Qununiyyah (Komisi Qununiyyah) yang khusus membicarakan beberapa peraturan perundang-undangan dan RUU di Indonesia.

Dalam UU penyelenggaraan haji tersebut menteri agama memiliki kewenangan tidak hanya bersifat penentu kebijakan, tapi juga kewenangan yang bersifat operasional. Misalnya, kewenangan untuk menentukan persyaratan penyelenggaraan (pasal 6 ay-at 4), kewenangan membentuk panitia penyelengara, menunjuk petugas operasional (Pasal 8), penentuan besar BPIH (Biaya Perjalanan Ibadah haji) dan pengadministrasiannya (Pasal 9), penentuan Quota (Pasal 14), sampai transportasi di Arab Saudi & penunjukannya (Pasal 19 & 20).

Kewenangan yang begitu besar tersebut memiliki potensi besar terhadap penyimpangan-penyimpangan yang pada gilirannya akan merugikan para calon jemaah haji dalam hal biaya yang harus dikeluarkan. Ibadah haji hendaknya dihindarkan dari kemungkinan-kemungkinan dimanipulir untuk kepentingan ekonomi segelintir orang.

Nahdlatul Ulama, sebagaimana dalam draft keputusan Komisi Quniyah yang dibuat oleh perwakilan wilayah-wilayah di Jakarta, 8-9 Juli lalu, mengusulkan adanya pembagian kewenangan yang sangat besar dari Menteri Agama kepada suatu badan yang independen yang dipilih oleh DPR dan diangkat oleh Presiden, yang berfungsi baik sebagai regulator maupun pengawas pelaksanaan ibadah haji;

Diusulkan juga adanya jaminan pengaturan tentang pelaksanaan kewenangan regulasi, kewenangan pelaksanaan penyelenggaraan dan kewenangan pengawasan penyelenggaraan ibadah haji yang  dilakukan dengan transparan dan akuntabel dengan menyediakan akses bagi masyarakat untuk ikut mengawasinya.

Pada masalah perlindungan terhadap jemaah haji yang diatur dalam ketentuan pasal 3 UU No. 17 Tahun 1999 tersebut menyebutkan bahwa Pemerintah berkewajiban melakukan pembinaan, dan perlindungan dengan menyediakan fasilitas, kemudahan, keamanan, dan kenyamanan yang diperlukan setiap warganya. Namun sejatinya fasilitas-fasilitas dan kemudahan, kenyamanan dan keamanan merupakan hak calon jemaah haji sebagai ganti prestasi yang dibayarkan melalui BPIH.

Pada kenyataannya, kinerja petugas dan sebagainya, yang harusnya menjadi garda depan perlindungan terhadap calon haji di lapangan justru menjadi permasalahan baru bagi calon haji, yang dalam beberapa hal harus mengeluarkan biaya lagi untuk membeli perlindungan dan bimbingan.

Selain undang-undang pelaksanaan haji, Komisi Qununiyyah juga akan membahas 4 perundang-undangan lain, yakni UU No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, UU No. 3 th 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama, RUU Perubahan UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, dan RUU tentang perubahan atas UU No. 23 tahun 1992 Tentang Kesehatan. (nam)