Warta

Massa Pengaruhi Keputusan Hakim dalam Kasus Penistaan Agama

Jumat, 16 Maret 2007 | 05:56 WIB

Jakarta, NU Online
Desakan massa dinilai sangat berpengaruh pada sejumlah kasus penistaan atau penodaan terhadap agama. Peneliti The Wahid Institute Rumadi mengungkapkan, massa selalu dianggap mewakili kebenaran yang kemudian diikuti oleh para hakim.

“Kasus penistaan agama selalu melibatkan massa, dan massa dianggap mewakili kebenaran. Massa jadi penentu apakah hakim mengikuti hati nuraninya atau desakan massa, yang diikuti ternyata desakan massa,” ungkapnya.

<>

Hal itu diungkapkannya pada acara “Konsultasi Ahli Tindak Pidana Terhadap Agama dan Kehidupan Beragama dalam RUU KUHP” yang digelar di Kantor PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta, Kamis (15/3) kemarin.

Dalam acara yang dihadiri sejumlah aktivis lembaga swadaya masyarakat dan tokoh hukum seperti MM Billah (Komnas HAM) dan Pakar Hukum Mahfud MD tersebut, Rumadi menyatakan hasil penelitian The Wahid Institute juga menunjukkan bahwa semua kelompok mainstream berada pada posisi utama.

Karena itu, kata dia, tidak ada orang yang terseret dalam kasus penistaan agama yang bisa bebas. Kalaupun ada, hal itu disebabkan ketidakkuatan desakan massa pada hakim.

Rumadi juga mengatakan bahwa semua kasus tersebut berada dalam tafsir keagamaan. “Sebagai contoh kasus Yusman Roy yang salat pakai Bahasa Indonesia, walau tidak lazim ibadah itu, tapi kalau mau dicari legitimasi fikihnya itu ada,” jelasnya.

Jika terus berlangsung, Rumadi khawatir hal itu dapat menjelma menjadi otoritas lain selain otoritas hukum yang berlaku. Dalam kesempatan tersebut, dia juga mengkritisi Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (R-KUHP) yang dalam naskahnya menjabarkan dengan detil apa itu penistaan agama.

Sementara itu, Pakar Hukum Universitas Indonesia Rudi Satrio berpendapat, undang-undang dan peraturan sebenarnya sangat tergantung pada hakimnya.  “Ya. kalau memang hakimnya tidak merasa terpengaruh, ya seharusnya hakimnya mengabaikan tentang masalah yang dikehendaki oleh massa,” ujarnya.

Namun, kata Rudi, dalam kondisi sekarang sulit bagi hakim untuk tidak terpengaruh oleh massa. Apalagi dari sisi hukum pengaruh massa itu hal yang biasa.

Sebab yang diutamakan dalam masalah hukum adalah masyarakat. “Kalau kemudian hukum tak sejalan dengan masyarakatnya, ya hukum pun akan mati,” tukasnya.

Rudi mengatakan di R-KUHP atau hukum mana pun akan sulit untuk tidak menghilangkan pengaruh masyarakat. Karena masyarakatnya menekankan hukum itu hidup atau menenggelamkan hukum yang ada.

Lebih lanjut Rudi menjelaskan bahwa detail penistaan agama dalam R-KUHP dimaksudkan untuk menghindari penafsiran berbeda. “Karena itu untuk menghindari perbedaan penafsiran dari satu ahli hukum dengan ahli hukum lainnya. Maka lebih baik kemudian diuraikan sekaligus saja apa yang disebut tindak pidana agama,” jelasnya. (rif)