Warta DISKUSI LPNU

Pasar dan Keadilan itu Beda Filosofi

Kamis, 31 Agustus 2006 | 06:58 WIB

Jakarta, NU Online
Nahdlatul Ulama tidak perlu percaya lagi terhadap janji-janji yang ditawarkan oleh mekanisme pasar. Pasar tidak pernah terbukti dapat menciptakan keadilan, malahan semakin menyengsarakan banyak orang.

Demikian dalam satu siskusi tentang “ekonomi kerekyatan” di kantor Pengurus Besar nahdlatul Ulama (PBNU), Jl. Kramat Raya 164, Jakarta Pusat, Rabu (30/8).

<>

Diskusi dipimpin oleh Ketua Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU) Subiakto Cakrawardaja dengan mengundang Kordinator Tim Ekonomi Indonesia Bangkit Rizal Ramli, Ketua Harian Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Benny Pasaribu, para pengurus harian PBNU, Ketua Badan Otonom NU, dan para tokoh NU yang berkecimpung dalam kegiatan pemberdayaan ekonomi.

PBNU diminta segera melakukan gebrakan-gebrakan yang berani untuk mendobrak kemajuan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia, dengan tanpa ikut terjebak dalam permainan logika ekonomi yang dikembangkan oleh pemerintah, yang dikomandoi oleh para mafia Berkeley.

“Sudahlah PBNU itu ngga usah ngurusi pelaksanaan pasar. Yang bisa dilakukan saja misalnya mengurusi undang undang pelaksanaan pasar tradisional yang bisa menampung banyak tenaga kerja,” kata Rizal Ramli.

Masih berkaitan dengan pasar, Benny Pasaribu kembali mengingatkan bahwa persaingan sempurna dalam pasar itu tidak akan ada. “Itu terlalu indah,” katanya.

Lilik Wahid menimpali, istilah “mekanisme pasar yang berkeadilan” itu sungguh lucu dan tidak berhubungan astu sama lain. “Keadilan dan pasar itu filosofinya berbeda,” kata adik kandung kandung Gus Dur itu.

Agak sedikit berbeda, Ketua PBNU KH. Masdar Farid Mas’udi mengatakan, agama Islam sebenarnya lebih memihak kepada mekanisme pasar, tapi menolak menopoli. Namun Rizal Ramli segera memotong. “Hadits itu dikeluarkan nanti saja kalau pasarnya sudah baik,” katanya. Kenyataannya pasar sekarang cenderung kea rah monopoli dan distorsi.

“Saya itu merasa berdosa telah memopulerkan istilah revitalisasi. Maksud saya waktu itu untuk mengantikan istilah pembangunanisme yang risih bagi saya. Sekarang ada istilah revitalisasi pertanian dan sebagainya, tetapi sekarang revitalisasi itu hanya menjadi jargon. Makanya Millennium Development Goals (MDGs) yang tadi disinggung pak Rozi (Rozi Munir, Ketua PBNU: Red) itu tidak mungkin bisa diwujudkan,” kata Rizal Ramli.

Ketua Lajnah Ta’lief wan Nasyr (LTN) NU Abdul Mun’im DZ yang juga Pimpinan Redaksi NU Online Abdul Mun’im DZ menambahkan, ketidakefektifan pasar itu sudah tidak diragukan lagi.

“Dan tugas negara adalah melakukan regulasi-regulasi, terutama untuk menyelamatkan pertanian, karena kita sepakat mendidiken negara untuk itu. Lalu, untuk kita, yang terpenting adalah mewujudkan pemikiran menjadi gerakan,” kata Mun’im.

Namun belakangan NU tidak punya lagi nilai tawar di hadapan pemerintah?

“Mengapa hari ini NU ga bisa pelopori perubahan seperti pada tahun 1965? Makanya sekarang perlu dipikirkan mekanismenya gimana. Bagaimana kata-kata kita bisa didengerin,” seru Lilik Wahid.

LPNU sendiri berencana akan melanjutkan diskusi “ekonomi kerakyatan” itu dalam forum pertemuan yang lebih besar lagi. “Hasilnya akan disampaikan oleh PBNU ke Presiden atau DPR itu terserah nanti,” kata Subiakto Cakrawardaja. (nam)