Warta

Pengamat Tak Yakin Gus Dur Jadi Presiden Lagi

Kamis, 20 September 2007 | 14:37 WIB

Jakarta, NU Online
Bukan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) namanya bila tak membuat kontroversi. Pun pernyataannya tentang kesiapannya kembali maju menjadi calon presiden pada Pemilihan Presiden (pilpres) pada 2009 mendatang ditanggapi beragam oleh banyak kalangan. Sejumlah pengamat mengaku tak yakin Gus Dur bakal menjadi presiden lagi.

Pengamat Politik, Arbi Sanit, mengatakan, peluang Gus Dur menjadi presiden pada 2009 mendatang lebih kecil dibandingkan pada 1999 silam. “Kalau 1999 itu, kan bisa dikatakan calon presiden itu tidak ada. Orang-orang yang dianggap melebihi Amien Rais dan Megawati tidak ada," katanya di Jakarta, Kamis (20/9).<>

Menurutnya, Pilpres 1999 dan Pilpres 2009 jelas berbeda. Untuk Pilpres 2009, katanya, ada banyak calon yang menonjol untuk maju menjadi capres. "Kalau mau ada perubahan UU Pilpres sepertinya tidak akan mendapat banyak dukungan, karena urgensinya tidak ada. Bakal langsung kalah itu," terangnya.

Arbi menilai, saat menjadi presiden pada 1999, Gus Dur yang juga Ketua Umum Dewan Syura DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tidak memiliki prestasi dan kharisma yang luar biasa. "Kita tahu, saat memerintah dulu Gus Dur juga sering kesulitan memilih orang-orangnya. Jadi, kenapa PKB tidak mencari orang yang lebih sempurna dari Gus Dur," imbuh Arbi.

Senada dengan Arbi, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia, Maswadi Rauf, mengatakan, Pilpres 2009 bukan arena untuk Gus Dur. Menurutnya, Gus Dur lebih pas jadi guru bangsa. Gus Dur, katanya, tidak cocok dengan jabatan-jabatan formal.

"Gus Dur sendiri kan pernah ngomong, dia bukan potongan presiden. Tapi, ya, kenapa masih mau juga. Presiden itu bukan arena Gus Dur. Dia harusnya jadi guru bangsa, jadi resi. Jangan urusi jabatan formal. Nanti orang repot ikut repot," tutur Maswadi.

Ia menilai, para pemimpin partai politik dan elit politik lebih memikirkan seleranya sendiri, ketimbang kepentingan rakyat Indonesia. "Di Indonesia itu ada masalah, yang dipentingkan kharisma sebagai kriteria dalam menentukan pemimpin, bukan prestasinya," kata dia.

Peneliti Lembaga Survei Indonesia (LSI), Isra Ramli, berpendapat, saat masih menjadi tokoh alternatif dan belum pernah mencicipi kursi presiden, orang mengakui Gus Dur mampu menyatukan berbagai kalangan. Bahkan mampu menarik simpati. Namun, setelah berada di kekuasaan, Gus Dur tampil dengan dominasi dan hegemoni yang sangat eksesif (mau menguasai sendiri).

"Dan itu kemudian tidak diterima orang-orang yang merasa Gus Dur jadi presiden karena mereka. Mereka kemudian membuktikan Gus Dur tidak sehebat yang dikira," tutur Isra.

Meski komitmennya menjaga pluralisme diwujudkan, banyak pihak yang kecewa. Lewat Poros Tengah, para elit politik itu pun sepakat menjatuhkan Gus Dur. Saat kembali berada di luar kekuasaan, pengaruh Gus Dur tidak seperti saat dia belum menjadi presiden.

"Yang mau ditawarkan Gus Dur nanti apa. Orang akan melihat Gus Dur hanya akan membuat huru-hara politik baru. Dan, dari segi ekonomi, dia tidak kompeten. Jadi, dari segi demand, dia bukan pemimpin yang pas untuk saat ini," katanya.

Sementara itu, pernyataan bernada optimis dikemukakan Anggota Fraksi Kebangkitan Bangsa DPR RI, Abdullah Azwar Anas. Ia menilai, perbedaan pendapat di kalangan pengamat politik merupakan hal yang wajar. “Tapi kan harus diingat, negeri ini bukan hanya milik pengamat," pungkasnya.

Politisi muda PKB ini menilai, sikap berani Gus Dur untuk kembali mencalonkan diri sebagai capres pada pemilu 2009 bukan tanpa perhitungan matang. Apalagi konteks deklarasi Gus Dur sebagai capres karena merespons realitas masyarakat yang kecewa dengan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono karena banyak janji-janji kampanyenya yang tidak terwujud. (dtc/rif)