Warta

Perbedaan Sikap Politik Dewasakan Warga NU

NU Online  ·  Jumat, 17 September 2004 | 07:11 WIB

Jakarta, NU Online
Perbedaan pilihan sikap politik warga NU dengan kyainya dalam pemilu kali ini semakin mendorong proses pendewasaan budaya politik di kalangan nahdliyyin.

Hal ini dipicu karena keinginan keorganisasian partai yang didukung oleh warga NU yang tidak bisa mengambil keputusan, sebagai konsekwensinya maka masyarakat akan dengan bebas menentukan pilihan politiknya masing-masing. Dalam konteks para kyai menggunakan pengaruhnya masing-masing, sebaliknya masyarakat juga akan menggunakan pertimbangannya yang sama. "Jadi sikap politik kyai yang menjadi acuannya hanya menjadi salah satu sikap. Selebihnya pertimbangan  sikap politik  berdasarkan hati nuraninya,"  ungkap Wakil Direktur LP3eS Enceng Sobirin Nadj kepada NU Online, Jum'at (17/9).

<>

Faktor lain yang juga ikut memengaruhi pertimbangan pemilihan itu adalah warna sosiologis kaum nahdliyin yang terus berubah dari waktu ke waktu. Pergeseran sosiologis yang berlangsung sejak sekitar sepuluh tahun terakhir ini telah membawa perahu jam'iyyah nahdliyin pada pola hubungan yang lebih rasional. "Jika sebelumnya interaksi sosial lebih didasarkan pada pola-pola kedekatan emosional, interaksi itu kini lebih didasarkan pada pola kedekatan rasional organisatoris," ungkapnya.

Realitas ini, katanya akan berimplikasi pada semakin kurang efektifnya kiai ketika harus membawa komunitas tradisional ini untuk memasuki ruang kepentingan tertentu. Mereka akan menentukan pilihan sendiri tanpa harus berada pada satu payung yang sama. Kecenderungan berbeda antara kiai dan santri kini telah menjadi pemandangan biasa di tubuh NU.

Jadi, lanjut Enceng wajar jika misalnya di suatu pesantren atau santri sebagian diantaranya secara politik berbeda dengan kyainya. Karena itu konsekwensi lebih jauhnya lagi para kyai harus lebih realistis dengan perubahan masyarakat pengikutnya. "Kesadaran yang tumbuh itu bagaimanapun juga harus di respon secara baik oleh para kyai untuk mendidik mereka," ujarnya.

Ketika ditanya apakah para kyai sudah memiliki kesadaran seperti ini. Enceng mengatakan sebagian para kyai belum sadar, bahwa mereka masih beranggapan masyarakat disekitarnya sepenuhnya mengikuti sikap politik mereka. Tapi pada pemilu April (legislatif dan presiden putaran pertama) menunjukan bahwa sudah banyak masyarakat disekitar pesantren dan dikalangan santri sendiri mengambil sikap berbeda dengan sikap politik kyai yang selama ini menjadi panutannya.

"Nah, saya kira memang pada akhirnya walaupun sadar akan terjadinya perubahan semacam itu, tapi lama kelamaan kyai akan sadar juga. lebih-lebih karena perbenturan perbedaan sikap politik antar para kyai itu semakin keras dan tajam walapun tidak muncul di dalam bentuk konflik. jadi perbedaan yang nampak itu hanya sebatas perbedaan sikap politik saja. Sehingga masih wajar saja tetapi ini dampaknya kedapan saya kira para kyai akan saling menyesuaikan diri. Pada akhirnya akan sama-sama realistis, bahwa sikap-sikap politik mereka tidak dengan sendirinya berpengaruh dan menjadi acuan di kalangan masyarakat," papar aktivis LSM kawakan ini.

Dijelaskan dia, kenyataan ini bukan merupakan sesuatu yang baru. Kenyataan ini merupakan hasil proses panjang pendidikan politik yang intensif di kalangan warga NU. Paling tidak sejak 1984 warga NU telah terbiasa dihadapkan pada pilihan politik cukup berat dan dilematis. Ikhtiar menata kehidupan politik lebih cerdas yang dibangun sejumlah elite organisasi pada dua dasawarsa terakhir. "Silang pendapat seputar keputusan kembali ke khittah 1926 kini telah memperlihatkan substansinya, paling tidak dalam membangun kedewasaan politik jemaah maupun jam'iyyah," kata lulusan IAIN Jogjakarta ini. (cih)