Warta

Perlu Fatwa MUI Tentang Garis Kemiskinan yang Sesuai dengan Syariat Islam

Rabu, 30 Agustus 2006 | 06:51 WIB

Jakarta, NU Online
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah saatnya mengeluarkan fatwa tentang garis kemiskinan berdasarkan syariat Islam dan tidak lagi didasarkan pada perhitungan konsumsi 2.100 kalori per kapita per hari yang telah digunakan pemerintah selama lebih dari 20 tahun, kata seorang pakar ekonomi pembangunan.

"Jika setara dengan konsumsi 2.100 kalori, maka jumlah penduduk miskin di Tanah Air hanya sekitar 16 persen atau 34 juta jiwa dari total jumlah penduduk," kata Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara (USU), Drs. Jhon Tafbu Ritonga, MEc, di Jakarta, Rabu (30/8)

<>

Padahal, menurut Ritonga, jika memakai standar garis kemiskinan Bank Dunia (pendapatan satu dan dua dolar AS per hari-red.), jumlah orang miskin di Tanah Air mungkin bisa mencapai sedikitnya 110 juta jiwa atau 50 persen dari total penduduk.

Ritonga menanggapi pro-kontra data kemiskinan di Tanah Air setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan pidato kenegaraannya beberapa waktu lalu.

Sebagai seorang cendekiawan Muslim, ia berharap MUI mengeluarkan fatwa supaya pemerintah mengubah definisi kemiskinan yang selama ini berdasarkan konsumsi 2.100 kalori yang setara dengan nilai uang tak lebih dari Rp150 ribu per bulan.

"Garis kemiskinan 2.100 kalori itu hanya menghitung kebutuhan akan pangan. Hitung juga lah kebutuhan sandang, kesehatan dan pendidikan dasar," kata Ritonga.

Dalam buku-buku fikih, lanjutnya, definisi orang miskin ialah orang yang penghasilannya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pokok. Sedangkan fakir adalah mereka yang penghasilannya tak cukup untuk memenuhi separuh dari kebutuhan pokok mereka.

"Kalau kita bandingkan pengertian miskin menurut buku-buku fikih  dengan definisi kemiskinan Pemerintah RI, jelas garis kemiskinan yang didasarkan pada konsumsi 2.100 kalori itu melanggar syariat Islam," tegasnya.

"Itu ironis sekali karena definisi Bank Dunia justru sesuai dengan kaidah dalam syariat Islam," lanjutnya.

Sebagai contoh, orang tidak masuk katagori miskin di Sumatera Utara jika ia berpenghasilan satu dolar per hari (sekitar Rp9.000) atau Rp275.000 per bulan. Dengan demikian, standar Bank Dunia lebih cocok diterapkan di Indonesia karena sudah memenuhi syariat Islam.

Menurut Ritonga, pemerintah kurang pas dalam menerapkan standar kemiskinan selama lebih dari 20 tahun terakhir ini. Garis kemiskinan yang didasarkan pada konsumsi 2.100 kalori per kapita per hari itu tidak pernah direvisi padahal sudah lebih 20 tahun.

"Idealnya dalam kemajuan global yang cepat seperti sekarang ini, definisi garis kemiskinan seharusnya direvisi setiap sepuluhan tahun. Tak bisa lagi dalam 20-an tahun. Kita malahan sudah lebih dari 20 tahun tak melakukan revisi," katanya.

Akibatnya ketika data menunjukkan kemiskinan rendah, di masyarakat justru semakin banyak orang miskin padahal kemiskinan cenderung mendekatkan orang pada kekufuran, katanya.

Menurut BPS, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada 2003 mencapai 37,27 juta orang (17,42 persen). Jumlah itu menurun menjadi 36,1 juta jiwa (16,66 persen) pada 2004. (ant/rif)