Warta

Sastra Pesantren Alami Marginalisasi

Jumat, 17 Februari 2006 | 13:00 WIB

Jakarta, NU Online
Dinamika sastra pesantren yang belum banyak terungkap ke permukaan dibahas dalam seminar ”Dinamika Sastra Pesantren : Antara Kreasi dan Diskriminasi yang diselenggarakan oleh NU Online di Gd. PBNU Lt 8, Jum’at (17/02). Hadir dalam acara tersebut Radar Panca Dahana (Budayawan) dan Arief Mudatsir Mandan (peneliti dan aktivis pesantren) yang saat ini menjadi anggota DPR RI dari FPP.

Tampilnya pesantren yang hanya dijadikan sebagai lembaga pendidikan, bukan lagi sebagai lembaga kehidupan telah memprsempit spektrum pesantren. Tradisi pesantren kuno yang merupakan tempat persemaian para pujangga dan sastrawan juga semakin hilang, misalnya Yasadipura, Ranggawarsita, Ronggo Sasmita dan sebagainya adalah para santri pesantren yang tekun mengembangkan sastra pesantren dengan berbagai bentuk kakawin, serat dan babad. Sumber inspirasi mereka bukan hanya kitab kuning, melainkan juga pengalaman sejarah bangsa ini sendiri sebagaimana dialami oleh kerajaan Hindu, Budha dan Walisanga.

<>

Arif Mudatsir menjelaskan bahwa sebenarnya banyak dunia pesantren merupakan dunia yang sarat dengan nilai-nilai sastra seperti berbagai nadhoman atau syair dalam berbagai kitab kuning. Saat ini juga terdapat beberapa sastrawan yang mumpuni dari kalangan pesantren seperti Gus Mus, D. Zawawi Imron dari Madura maupun Asep Zamzam Noor dari Ponpes Cipasung Tasikmalaya.

Kemunduran sastra pesantren timbul karena arus besar sastra Indonesia modern adalah sastra yang dikembangkan di sanggar-sanggar dan di lembaga-lembaga kebudayaan resmi seperti TIM dan DKJ. Ditambah lagi dengan kekuatan sastra koran yang didominasi selera estetika sastra perkotaan. Karena berstatus resmi, maka mendapatkan legitimasi pula baik dari segi tema, alur cerita hingga bahasa yang digunakan. Walaupun dikatakan bahwa budaya Indonesia merupakan puncak-puncak kebudayaan lokal.

Persoalan yang dihadapi pesantren dalam mengembangkan kreativitas sastra yang menurun karena bergesernya fungsi dan peran pesantren, serta situasi yang melingkupinya baik tantangan eksternal maupun internalnya. Para kaum santri yang dapat mendapat pengakuan adalah mereka yang mampu mengemas dirinya sesuai dengan arus besar yang ada.

Arief berkeyakinan walaupun di daerah perkotaan telah terjadi pergeseran, namun tradisi-tradisi pesantren seperti pujian atau nadhoman tetap terpelihara dengan baik di wilayah pedesaan yang menjadi pusat pesantren meskipun mereka sendiri kurang dapat mengembangkan kreatifitasnya.

Sementara itu Radar Panca Dahana mempertanyakan apakah layak membuat sebuah kategori baru sebuah sastra pesantren. Namun ia sepakat bahwa seni yang ada di pesantren yang berupa nadhoman, adat dan lainnya merupakan bagian dari cara untuk memperkuat pemahaman agama Islam.

Hadir dalam acara tersebut para aktifis NU dari Lakpesdam, LKKNU, LP3ES, Lesbumi, pesantren Ciganjur sampai dengan para seniman yang aktif di Taman Ismail Marzuki TIM). Diluar dugaan, diskusi sastra dengan tema berat yang biasanya sepi peminat tersebut ternyata sangat diminati. (mkf)