Warta

Tak Tanggapi Stigma Bid'ah Demi Kerukunan Umat Islam

Rabu, 10 Januari 2007 | 02:44 WIB

Jakarta, NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi mengaku tak terlalu serius menanggapi stigma ahli bid’ah (mengada-ada dalam beribadah) yang diarahkan padanya maupun organisasi yang ia pimpin. Hal itu dilakukannya demi menjaga kerukunan di antara sesama umat Islam di Indonesia.

“Dicap bid’ah-lah, dianggap kurang Islam-lah, saya biarkan aja. Kalau ditanggapi, saya khawatir jadi konflik nantinya. Kalau sudah konflik, meluas, dan akhirnya Islam mudah dipecah-belah,” ujar Hasyim kepada wartawan usai menerima kunjungan Duta Besar Swiss untuk Indonesia Bernardino Regazzoni di Kantor PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta, Selasa (9/1) kemarin.

<>

Presiden World Conference on Religion and Peace (WCRP) itu mengaku, hal yang dilakukannya didasari atas pertengkaran umat Islam di Timur Tengah yang hingga saat ini tak kunjung mereda. Meski sadar bahwa pertengkaran tersebut bukanlah didasari persoalan agama—melainkan konflik politik, menurutnya, hal itu cukup menjadi bukti bahwa umat Islam mudah sekali diadu-domba.

Ketika umat Islam berhasil diadu-domba, maka, lanjut Hasyim, kondisi tersebut berarti membuka peluang bagi pihak luar untuk memanfaatkan Islam. Hal itulah, katanya, yang sedang terjadi pada umat Islam di Irak, terutama pasca eksekusi mati mantan Presiden Irak Saddam Hussein.

“Video eksekusi Saddam terus ditayangkan. Saya yakin, maksudnya itu supaya orang Sunni marah dan berkelahi dengan Syiah. Sementara sekarang kepemimpinan Irak dipegang Syiah. Nah, saat mereka berkelahi, Amerika Serikat masuk ngambil minyak,” urai Hasyim yang juga Sekretaris Jenderal International Conference of Islamic Scholars.

Hal yang sama juga ia lakukan ketika sejumlah aset milik warga nahdliyin (sebutan untuk warga NU) seperti masjid dan madrasah diambil-alih oleh kelompok Islam garis keras. Ia yakin, jika ditanggapi apalagi dengan kekerasan, maka akan tumbuh benih-benih perpecahan di antara umat Islam.

“Biarkan saja. Saya tidak mungkin nyuruh warga NU marah dan mengambil lagi masjid atau madrasahnya. Saya yakin, masyarakat sendiri yang nanti akan menentukan sikap. Kalau nggak diadili langsung oleh masyarakat, ya, masjidnya ditinggalin jamaah,” ujar Pengasuh Pondok Pesantren Al Hikam, Malang, Jawa Timur itu.

Ditambahkan Hasyim, meski umat Islam di kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia relatif tenang. Namun, bukan tidak mungkin ketenangan itu akan diusik, seperti halnya di Timur Tengah. “Jangan sampai hal itu (konflik: Red) terjadi di Asia Tenggara, juga di Indonesia. Kuncinya jangan sampai tercerai berai,” imbaunya.

Untuk kepentingan itu, Hasyim akan mengusahakan pertemuan rutin para pemimpin organisasi kemasyarakat (ormas) Islam di Indonesia, tak terkecuali ormas Islam yang tergolong garis keras. “Saya ingin tokoh-tokoh Islam Indonesia kumpul, minimal tiga bulan sekali di sini (PBNU). Ya, sekedar silaturrahim aja. Biar kita bisa berkomunikasi dan saling terbuka,” harapnya. (rif)