Nasional

Hari Buruh 2025, DPP K-Sarbumusi Desak Pemerintah Libatkan Buruh dalam Pembahasan RUU Ketenagakerjaan

Kamis, 1 Mei 2025 | 09:00 WIB

Hari Buruh 2025, DPP K-Sarbumusi Desak Pemerintah Libatkan Buruh dalam Pembahasan RUU Ketenagakerjaan

Presiden DPP Konfederasi Sarbumusi di Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta, Rabu (30/4/2025). (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online

Memperingati Hari Buruh Internasional atau May Day pada 1 Mei 2025, Presiden Dewan Pimpinan Pusat Konfederasi Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (DPP K-Sarbumusi) Irham Ali Saefudin mendesak pemerintah agar melibatkan buruh secara aktif dalam proses penyusunan dan pembahasan revisi Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan. 


Irham mengungkapkan, pentingnya keterlibatan serikat pekerja dalam setiap tahap perumusan kebijakan ketenagakerjaan guna menghindari pengulangan kesalahan masa lalu, seperti yang terjadi pada proses pembentukan UU Cipta Kerja.


"Di mana khususnya pada kluster ketenagakerjaan produk pada UU tersebut lebih menempatkan buruh pada posisi yang paling dirugikan atas nama kemudahan, atas nama investasi, atas nama perizinan, atas nama investment attractiveness," katanya saat ditemui NU Online di Pojok Gus Dur Lantai 1 Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya 164, Salemba, Jakarta Pusat, pada Rabu (31/4/2025).


"May Day tahun ini adalah keprihatinan bagi kaum buruh," tambahnya.

 
Irham juga menyoroti, meskipun UU Cipta Kerja dirancang untuk menarik investasi, fakta di lapangan menunjukkan bahwa tidak ada lonjakan signifikan dalam Foreign Direct Investment (FDI) sejak regulasi tersebut diundangkan. Karenanya, Omnibus Law yang awalnya dirancang untuk mempermudah investasi dan memangkas inefisiensi birokrasi tidak dirasakan secara nyata.


"Sayangnya buruh tidak terlalu dilibatkan dan UU itu dilahirkan karena permufakatan yang instan antara pemerintah dan DPR saat itu sehingga UU yang sedemikian tebalnya dikebut dengan sistem kebut semalam (SKS)," katanya.


"Sekarang kita bisa rasakan dampaknya banyak hak-hak buruh yang terudusir (berkurang) disalah satu sisi, di sisi lain investasi yang diharapkan pemerintah tidak pernah datang bahkan investasi dalam beberapa tahun terkahir ada cenderung stagnant bahkan turun," tambahnya.


Irham mengingatkan agar pemerintah tidak lagi membuat kebijakan secara jalan pintas dan lebih waspada terhadap penumpang gelap kebijakan atau policy free rider.


"Sekali lagi, libatkan buruh di setiap pembuatan kebijakan, karena sekarang eranya bukan hanya keterbukaan, tapi kalau kita bicara soal Business Climate, sekarang adalah eranya business sustainability dan responsible business di mana buruh, pengusaha, dan pemerintah harus duduk bareng bagaimana agar dunia usaha ini bisa berjangka panjang sehingga memenangkan semua pihak," katanya.


Tak hanya itu, Irham juga menyoroti dampak kebijakan kebijakan tarif yang diberlakukan di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump. Kenaikan tarif masuk hingga 32 persen terhadap produk ekspor ke AS telah memberikan tekanan berat pada industri manufaktur nasional yang selama ini menjadi sektor padat karya terbesar setelah pertanian dan perkebunan.


"Makanya tidak mengherankan dampak yang bisa kita rasakan saat ini adalah dalam catatan Sarbumusi misalnya per hari ini sudah ada lebih dari 40 juta buruh yang jadi korban PHK, ada ribuan basis-basis Sarbumusi di Jawa Timur, Jawa Barat yang menjadi korban PHK," terangnya.