Nasional

Pentingnya Kontranarasi Dalil Radikalisme

Senin, 28 Oktober 2019 | 13:00 WIB

Pentingnya Kontranarasi Dalil Radikalisme

Wakil Rektor bidang Kemahasiswaan dan Kerja Sama Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Waryono Abdul Ghafur. (Foto: NU Online/Ahmad Rozali)

Yogyakarta, NU Online
Wakil Rektor bidang Kemahasiswaan dan Kerja Sama Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Waryono Abdul Ghafur, mengatakan, pada dasarnya tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan. Namun yang ada adalah pembajakan agama untuk tindakan radikal kekerasan.
 
Sehingga yang mesti dilakukan untuk menghambat radikalisme terorisme adalah perlawanan menggunakan dalil keagamaan atau kontranarasi. 
 
“Justru untuk melawan jargon-jargon dan narasi mereka yang menggunakan narasi agama, harus kita lawan dengan jargon agama juga. Bahwa agama yang sesungguhnya itu tidak mengajarkan kekerasan seperti itu. Jadi ada semacam counter wacana juga, counter discuss ‘Ini tidak  benar seperti itu’ dan ‘agama yang benar mengajarkan kedamaian’, kan seperti itu,” kata pakar ilmu tafsir Al-Qur’an UIN Sunan Kalijaga tersebut.
 
Sebab bagi kelompok radikal, pendekatan kebangsaan dengan menggunakan jargon Pancasila akan kontraproduktif. Karena sejak semua kelompok ini tidak percaya pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Pancasila. 
 
“Jadi harus kita jawab dengan jargon agama yang mereka pakai. Kalau mereka itu sudah anti NKRI maupun anti Pancasila lalu malah kita suguhi dengan Pancasila, ya makin resisten,” katanya. Tetapi tentunya yang melawan pun juga harus memiliki ilmu agama yang cukup mumpuni juga. Jangan sampai ilmu agamanya pas-pasan lalu kalah sama kelompok itu, lanjutnya.
 
Oleh karenanya, dalam hal ini, lembaga pendidikan memiliki peranan yang sangat penting untuk menangkal paham radikal. Karena di lembaga pendidikan itu ada guru, ada dosen yang akan memberikan pemahaman antri-radikalisme keagamaan kepada anak didiknya.
 
Kendati demikian, ia juga menyebut, faktor yang melatarbelakangi perkara radikalisme tidak melulu persoalan agama, namun juga dipicu oleh ketidakpuasan terhadap pemerintah dan lain sebagainya.
 
“Misalnya kasus yang menimpa mantan Menko Polhukam Pak Wiranto, Itu kalau saya baca beritanya ya dia (pelaku) miskin, rumah saja masih ngontrak, begitu kan. Tapi kemudian dia mengikuti ajaran agama yang tidak relevan buat hidup dia sendiri, secara sosial ekonomi itu yang kemudian mendorong dia (melakukan aksi radikalisme kekerasan) begitu,” ujar Waryono.
 
Kekhawatiran Waryono beralasan kuat. Sebab fenomena penusukan Wiranto sebenarnya merupakan satu dari sekian banyak orang yang dekat dengan aksi radikalisme. Berkaca dari survei Wahid Foundation tahun 2017, kelompok yang bersedia melakukan aksi radikal, berjumlah 7,8 persen dari populasi umat Islam di Indonesia, atau setara dengan 12,8 juta orang. Sementara yang radikal adalah sekitar 0,3 persen atau setara dengan 500 ribu orang.
 
Oleh karena itu, aksi radikalisme, menurut Waryono tidak bisa dilakukan secara serampangan atau terpisah-pisah. Diperlukan aksi menyeluruh yang melibatkan banyak lembaga, terutama lembaga pemerintahan. 
 
“Menurut saya harus ada berbagai pendekatan yang ditempuh. Misalnya Kementerian Pembangunan Desa Tertinggal (juga ambil bagian). Karena nyatanya juga kelompok-kelompok teroris itu saya amati sekarang ini banyak yang sudah ada di desa-desa. Seperti yang pelaku bom panci di Indramayu. Pelakunya itu orang dari kampung,” ujarnya. 
 
Ia meminta kepada seluruh pihak yang berkompeten di dalam masalah tersebut untuk dapat memberikan program pencerahan terkait radikalisme kepada masyarakat itu bisa sampai “ke bawah”. 
 
“Padahal di kampung itu ada rapat RT, rapat RW. Itu sangat efektif kalau dimanfaatkan untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat. Masyarakat harus diberikan pengertian untuk mewaspadai terhadap penyebaran paham-paham radikal itu yang menyusup dengan membajak atau mengatasnamakan agama. Masih banyak masyarakat yang belum mengerti tentang itu karena kurangnya memberikan pencerahan kebawah,” katanya mengakhiri.

 
Pewarta: Ahmad Rozali
Editor: Ibnu Nawawi