TNI Angkatan Udara Mendarat di Ladang untuk Tanam Jagung, Begini Kata Pengamat
Selasa, 15 Juli 2025 | 14:30 WIB

Komandan Lanud Haluoleo Tarmuji Hadi Susanto bersama Kepala Desa Ambaipua Subardin melaksanakan kegiatan penanaman jagung hibrida di lahan ketahanan pangan Lanud Haluoleo seluas 5 hektar, Kamis (10/7/2025). (Foto: situsweb resmi TNI AU)
Jakarta, NU Online
Keterlibatan militer dalam sektor pertanian kembali menjadi sorotan setelah sejumlah satuan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU), termasuk personel di Lanud RSA Natuna dan Lanud Haluoleo, Sulawesi Tenggara.
Para prajurit TNI AU "mendarat" di ladang pertanian untuk menjalankan program penanaman jagung sebagai bagian dari kontribusi mereka terhadap program ketahanan pangan nasional. Langkah ini menuai kritik terkait pergeseran fungsi militer yang seharusnya berfokus pada pertahanan dan keamanan negara.
Pengamat militer dan politik Amiruddin Al Rahab menilai fenomena ini mencerminkan melemahnya kontrol sipil terhadap militer dalam sistem demokrasi.
Ia menegaskan bahwa pelibatan TNI dalam program penanaman jagung bukan berasal dari inisiatif militer, melainkan akibat keputusan politik dari para aktor sipil.
“Yang salah bukan tentaranya. Yang salah adalah para politisi yang membiarkan itu terjadi,” tegas Amiruddin kepada NU Online, Senin (14/7/2024).
Menurut mantan Komisioner Komnas HAM ini, sistem politik Indonesia saat ini mengalami kelumpuhan fungsi pengawasan.
Ia mencontohkan, revisi Undang-Undang TNI yang memperluas penempatan prajurit ke 14 lembaga sipil tidak akan terjadi jika parlemen menjalankan peran kontrol secara efektif.
“Kalau DPR diam saja, dalam jangka panjang militer akan diseret ke bidang-bidang yang bukan tugasnya,” ungkap Amiruddin.
Merujuk pada teori mid-term provisional dari Samuel Huntington, Amiruddin menegaskan bahwa militer adalah institusi yang tunduk pada otoritas sipil dan tidak boleh menjalankan peran di luar mandat pertahanan.
Ia mengingatkan bahwa dalam sistem demokrasi, arah kebijakan militer ditentukan oleh para politisi, bukan oleh militer itu sendiri.
“Sekadar pengetahuan, tentara itu alat. Maka yang menentukan ia dipakai untuk apa adalah orang-orang yang menggunakan alat itu,” jelasnya.
Amiruddin mempertanyakan urgensi pelibatan militer dalam proyek ketahanan pangan jika lembaga yang seharusnya bertanggung jawab seperti Kementerian Pertanian tak menunjukkan kinerja maksimal.
“Kalau polisi dan tentara sekarang bangga panen jagung, lalu Kementerian Pertanian ngapain? Apakah Kementerian Pertanian masih berguna? Kalau tidak, bubarkan saja,” kritiknya tajam.
Lebih jauh, Amiruddin menyebut bahwa pelibatan militer dalam proyek pertanian hanya menjadi jalan pintas yang menutupi kegagalan politik dalam memperkuat institusi sipil.
Strategi seperti ini dinilainya akan memperlemah akuntabilitas lembaga sipil dan menimbulkan tumpang tindih fungsi dalam tata kelola negara.
Dalam situasi seperti ini, Amiruddin menekankan pentingnya peran masyarakat sipil untuk tidak hanya mengkritik militer, tetapi juga menyasar akar permasalahan yang sebenarnya: para politisi.
“Tugas masyarakat sipil adalah bersuara. Sampaikan ke DPR, bukan ke Kodim. Kodim hanya menjalankan tugas. DPR yang memberi ruang dan anggaran. Kalau DPR tidak setuju, program itu tidak akan jalan,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan bahwa militer tidak dapat disalahkan secara sepihak karena setiap langkah mereka tetap berada dalam bingkai persetujuan politis.
“Kalau politisinya tidak kompeten dan membiarkan militer masuk ke berbagai sektor, maka kekacauan yang terjadi bukan karena TNI, tapi karena sistem politik kita yang rusak,” pungkasnya.