Nasional

Retret hingga Penempatan Perwira di Ranah Sipil: Sinyal Militerisasi dan Otoritarianisme di Era Prabowo

NU Online  ·  Kamis, 26 Juni 2025 | 21:45 WIB

Retret hingga Penempatan Perwira di Ranah Sipil: Sinyal Militerisasi dan Otoritarianisme di Era Prabowo

Presiden Prabowo Subianto dan jajaran Kabinet Merah Putih melakukan senam pagi dalam agenda retret di lapangan Pancasila, Kawasan Akademi Militer, Magelang, Provinsi Jawa Tengah, pada Sabtu, 26 Oktober 2024. (Foto: BPMI Setpres/Muchlis Jr)

Jakarta, NU Online

Retret pejabat sipil bergaya militer, revisi Undang-Undang TNI, hingga penempatan perwira aktif maupun purnawirawan dalam jabatan sipil menjadi rangkaian kebijakan yang dinilai mengindikasikan menguatnya militerisasi di awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.


Sejumlah pengamat menilai langkah-langkah tersebut menunjukkan kecenderungan kembalinya pola kekuasaan yang militeristik dan berpotensi mengikis prinsip-prinsip demokrasi.


Kepala Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada (UGM) Muhammad Najib Azca menyebut tren ini sebagai kelanjutan dari stagnasi reformasi militer sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan kemunduran yang semakin nyata di masa pemerintahan Joko Widodo.


"Proses meningkatnya militerisasi dalam tubuh pemerintahan sudah dimulai sejak era Jokowi. Reformasi militer yang digagas pada masa Gus Dur dan Megawati mengalami stagnasi selama 10 tahun pemerintahan SBY, dan kemudian terjadi regresi pada era Jokowi. Kini, di era Prabowo, tren itu tampak semakin menguat," ujar Najib Azca kepada NU Online pada Kamis (26/6/2025).


Ia menjelaskan bahwa latar belakang Prabowo sebagai purnawirawan jenderal dan mantan anggota Kopassus menjadikannya secara natural mempercayai sistem dan cara kerja militer sebagai model yang efektif.


Hal ini, kata Najib, terlihat dari pelaksanaan retret bagi pejabat sipil di lingkungan akademi militer dan pelibatan unsur militer dalam jabatan-jabatan sipil.


“Pak Prabowo meyakini model kerja militer sebagai sistem yang efektif dan disiplin. Tapi kita harus hati-hati. Jangan sampai yang diadopsi justru sisi-sisi represif dan otoriter dari kemiliteran, bukan etos kerja positifnya,” tegas Najib.

 

Retret pejabat sipil dan disiplin gaya militer

Pelaksanaan retret di institusi militer bagi para menteri dan kepala daerah menjadi simbol dari pendekatan militeristik yang kini merambah ranah sipil.


Najib menilai, pendekatan tersebut memang bertujuan membentuk kekompakan dan kedisiplinan tetapi efektivitas jangka panjangnya masih perlu dipertanyakan.


“Saya pribadi ragu pendekatan retret ini akan memberikan hasil positif dalam jangka panjang, apalagi kalau mengabaikan nilai-nilai dialog, transparansi, dan partisipasi,” katanya.


Menurutnya, cara kerja militer yang mengedepankan komunikasi vertikal dan perintah tunggal tidak sejalan dengan prinsip pemerintahan demokratis yang membutuhkan deliberasi dan akuntabilitas.


Bahaya terbesar: normalisasi cara pikir represif

Dosen Sosiologi UGM itu mengingatkan bahwa bahaya militerisasi tidak selalu berbentuk kekerasan fisik, tetapi juga merasuk melalui cara berpikir yang otoriter dan tertutup. Dalam sistem demokrasi, pendekatan semacam ini dapat berujung pada pembatasan hak-hak sipil warga negara.


"Bahaya sebenarnya bukan cuma soal senjata, tapi saat cara berpikir militeristik digunakan dalam pengambilan keputusan. Itu bisa berdampak pada pembatasan kebebasan berekspresi, pengawasan berlebih, dan memarjinalkan partisipasi publik," jelasnya.


Najib juga menyoroti revisi Undang-Undang TNI yang baru-baru ini disahkan, termasuk perpanjangan usia pensiun dan pelonggaran syarat pengisian jabatan sipil oleh militer. Ia menilai perubahan regulasi ini membuka jalan semakin lebarnya keterlibatan militer dalam pemerintahan sipil.

 

Pentingnya kontrol sipil dan peran media

Najib menekankan pentingnya peran masyarakat sipil, media, dan lembaga demokrasi untuk terus mengawasi agar pemerintahan tidak terjebak dalam praktik kekuasaan yang represif.


Civil society harus aktif memberi peringatan. Kita beri waktu pada Pak Prabowo, tapi tetap awasi agar cara-cara yang digunakan tidak menggerus ruang demokrasi. Disiplin boleh, tapi bukan represif,” pungkasnya.


Warisan Orde Baru

Mengutip jurnal Militerisme dalam Politik Indonesia: Sejarah Retrospektif Orde Baru dan Tantangan Demokrasi terbitan Universitas Jambi, penguatan peran militer dalam pemerintahan Indonesia tak bisa dilepaskan dari sejarah panjang Orde Baru yang menempatkan militer sebagai aktor dominan dalam kebijakan publik. Pada masa itu, militer tidak hanya menjalankan fungsi pertahanan, tetapi juga menguasai posisi strategis dalam pemerintahan, parlemen, dan dunia usaha.


Dominasi militer pada era Orde Baru menciptakan ketimpangan antara sipil dan militer, yang berdampak pada berbagai pelanggaran HAM di Aceh, Papua, dan Timor Timur. Rezim kala itu menormalisasi kekerasan negara sebagai instrumen utama menjaga stabilitas.


Meskipun pasca-Orde Baru telah dilakukan reformasi institusional seperti penghapusan dwifungsi ABRI dan pengurangan peran militer di parlemen, kekhawatiran terhadap kembalinya militer dalam politik sipil kembali mencuat. Revisi UU TNI pada 2025, dalam konteks ini, dianggap sebagian pengamat sebagai langkah mundur dari semangat demokratisasi.


Penguatan masyarakat sipil, media independen, dan partai politik yang demokratis menjadi kunci untuk memastikan sejarah kelam Orde Baru tidak terulang dalam wajah baru. Pengalaman masa lalu seharusnya menjadi peringatan kolektif agar bangsa ini tidak kembali jatuh ke dalam jebakan otoritarianisme yang dibungkus dengan narasi efisiensi dan ketertiban.