Unjuk Rasa Diwarnai Pembakaran dan Penjarahan, Ketua PBNU Soroti Lemahnya Intelijen Negara
Selasa, 2 September 2025 | 14:00 WIB
Jakarta, NU Online
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) H Mohamad Syafi' Alielha atau Savic Ali menyoroti cara aparat keamanan menangani demonstrasi besar yang belakangan ini marak terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Apalagi, katanya, sampai terjadinya aksi pembakaran fasilitas umum dan penjarahan.
Menurutnya, dalam setiap gelombang gerakan massa, selalu ada potensi penyusup yang memanfaatkan situasi demi kepentingan mereka sendiri. Namun, katanya, hal itu seharusnya sudah sejak awal bisa diantisipasi oleh aparat melalui Badan Intelijen Negara (BIN).
“Mungkin saja dalam sebuah pergolakan besar atau gerakan massa besar selalu ada pihak-pihak yang berusaha memanfaatkan demi kepentingan mereka sendiri, itu selalu ada,” katanya kepada NU Online pada Selasa (2/9/2025).
Savic mengkritik keras lemahnya infrastruktur intelijen dalam menangani potensi provokasi dari pihak luar. Ia menilai bahwa alih-alih fokus mengidentifikasi penyusup, aparat justru bersikap represif terhadap demonstran yang sebetulnya menyuarakan aspirasi secara damai.
“Justru itu yang mestinya diantisipasi oleh aparat keamanan, sekarang kan kelihatan. Aparat keamanan tidak punya infrastruktur dan strategi untuk mengatasi, untuk mengantisipasi pihak-pihak yang dianggap penyelundup ini tetapi justru aparat keamanan memang menghadapi demonstran dengan sikap yang tidak ramah. Itu yang menjadi persoalan,” kata Savic.
Ia mempertanyakan efektivitas jaringan intelijen negara yang sejatinya sangat besar dan memiliki sumber daya cukup untuk mendeteksi ancaman.
“Kalau problemnya adalah penyusup, harusnya kan aparat keamanan punya banyak sekali intel, aparat keamanan kita di Indonesia itu banyak sekali intel. Kita mendidik dan menggaji banyak sekali intel kenapa mereka tidak mampu mengantisipasi hal ini. Kenapa justru seluruh kekerasan dialamatkan kepada demonstran?” tegasnya.
Savic juga menyampaikan keyakinannya bahwa sebagian besar demonstran hadir dengan niat murni menyampaikan aspirasi, bukan untuk melakukan perusakan.
“Memang saya kira hari ini saya kira jauh lebih aware, lebih sadar untuk tidak membabi buta atau melakukan pembakaran terutama penjarahan dan pembakaran,” ungkapnya.
Menurutnya, tindakan anarkis seperti pembakaran biasanya baru muncul saat situasi sudah memanas dan terjadi bentrokan antara demonstran dan aparat. Namun, ia mengingatkan bahwa bukan berarti semua kekerasan berasal dari massa aksi.
“Memang hal-hal seperti ini mungkin terjadi ketika sudah ada clash, sudah ada bentrokan karena kedua belah pihak sudah dalam posisi marah dan emosional, mungkin saja terjadi,” katanya.
Savic juga merujuk sejumlah temuan investigatif yang menunjukkan bahwa pelaku pembakaran bukan berasal dari kalangan demonstran.
“Tetapi kita menyaksikan dari sejumlah investigasi, ada laporan Republika, dari sejumlah rekaman ya memang pembakaran ini dilakukan oleh orang-orang yang kayanya memang bukan bagian dari demonstran,” terangnya.