Opini

Gelombang Pasang Arus Balik Perjuangan Ibu

Rabu, 30 Januari 2019 | 01:45 WIB

Gelombang Pasang Arus Balik Perjuangan Ibu

Muslimat NU di GBK (Dok. Tirto)

Oleh Zastrouw Al-Ngatawi

Malam itu, sekitar jam 22.00 WIB saya keliling melihat suasana GBK jelang pelaksanaan acara Harlah Muslimat NU ke 73 yang dirangkai dengan acara Maulidurrasul dan Doa Untuk Keselamatan Bangsa. Suasana sekeliling GBK sudah mulai ramai meski acara baru akan dimulai pukul 02.30 WIB.

Beberapa bus dari luar kota sudah masuk area GBK. ibu-ibu berseragam batik dominan warna hijau turun dari bus, kemudian baris berjalan kaki menuju pintu masuk GBK yang belum dibuka. Barisan di pimpin seseorang yang membawa bendera kecil sebagai penanda rombongan. Mirip dengan jamaah haji di Makkah. Di beberapa tempat mereka bergerombol sambil duduk melepas lelah serelah menempuh perjalanan panjang dari daerah.

Di depan pintu Kuning, saya melihat segerombolan ibu-ibu menggelar plastik seadanya. Mereka tiduran menunggu waktu dimulainya acara. Di sekeliling mereka bertumpuk bekal makanan dari rumah dan peralatan shalat yang dibungkus plastik kresek lusuh dan kertas koran. Mereka menggunakan potongan kain kardus untuk kipas mengusir udara panas yang mulai merayap tubuh.

Saya mendekati mereka dan bertanya, "Rombongan dari mana bu?"

"Dari Subang mas," jawab seorang ibu yang masih duduk di antara temannnya yang sudah rebahan.

"Kok awal banget sudah sampe GBK?" tanya saya lebih lanjut.

"Iya mas supaya tidak kena macet dan bisa dapat shaf di depan saat shalat tahajud berjamaah," jawab orang yang sama sambil terus kipas-kipas dengan potongan kertas kerdus.

Setelah dialog dengan ibu-ibu Muslimat dari Subang itu saya melanjutkan keliling sambil melihat suasana yang makin ramai karena kedatangan ibu-ibu dari segenap penjuru tanah air.

Rombongan jamaah terus berdatangan dan mulai mengular di sepanjang jalan menuju pintu stadion. Karena padatnya kendaraan mereka tidak bisa turun tepat di tempat pemberhentian yang sudah disiapkan. Karena ingin segera sampai mereka turun di sepanjang jalan dalam komplek GBK kemudian berjalan kaki menuju pintu masuk GBK.

Beberapa saat pintu di buka, para rombongan ibu-ibu yang penuh semangat itu langsung masuk stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK). Seperti air mengalir menuju tempat-tempat kosong. Mereka menata barisan di lapangan dekat panggung untuk mempersiapkan shalat tahajud dan dzikir.

Sambil menunggu waktu sholat dimulai mereka khusyu' berdzikir, bershalawat dan baca Al-Qur'an. Suasana lapangan tengah GBK terang benderang seperti saat pertandingan bola. Sehingga memungkinkan para jamaah membaca Al-Qur'an.

Udara dingin mulai menerpa. Bahkan menusuk sampai ke pori-pori kulit. Kain batik warna hijau yang sudah mulai lungsek itu tak mampu menahan udara malam. Namun para ibu-ibu seolah tidak mempedulikan semua itu. Mereka terus berdzikir dan bershalawat sambil merapalkan doa-doa. Bagai batu karang yang kokoh berdiri tegak melawan hembusan udara malam dan terpaan ombak.

Aku melihat usia mereja tidak lagi muda. Beberapa di antara mereka bahkan sudah nenek-nenek dengan kerut kulit di beberapa bagian tubuh. Namun semangat dan ketulusan mereka seolah kekuatan gelombang pasang yang mampu mengusir segala kelelahan dan dan cuaca.

Tak ada wajah letih di antara mereka bahkan tanda-tanda kecapean sama sekali tak terlihat. Semua tampak segar bugar dan ceria. Dari sorot mata yang polos dan lagu itu, saya melihat kekuatan dahsyat yang mampu menembuh tembok dan dinding baja sekalipun.

Ya, kekuatan hati yang tulus ikhlas yang kemudian mewujud dalam sikap sabar. Kekuatan ini tanpa batas dan sekat. Tak bisa dilawan dan dibendung oleh apapun. Mungkin inilah kekuatan yang oleh Vaclaf Havel (1978) disebut sebagai kekuatan orang-orang yang tak punya kekuatan (power of the powerless)

Gerakan mereka lembut seperti angin. Tapi kekuatannya mampu menembus bilik-bilik hati dan relung jiwa. Menggetarkan siapa saja yang masih punya nurani. Pelan-pelan saya mulai merinding melihat ibu-ibu yang mulai datang secara bergelombang. Makin menuju pagi gelombang itu makin besar seperti ombak yang siap menggulung apa saja. 

Saya membayangkan, gerakan ibu-ibu ini seperti air yang selama ini tenang dan diam meski dihina, dicaci, dipinggirkan. Kali ini mereka bangkit dan menunjukkan eksistensi menjadi gelombang pasang berkekuatan penuh mengepung GBK. Ya, di pagi yang dini itu aku seperti melihat arus balik yang dahsyat sari kaum ibu yang selama ini diam. (Bersambung) 


Penulis adalah pegiat budaya, Dosen Pascasarjana Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta


Terkait