Pelantikan dan Musyawarah Kerja Wilayah (Muskerwil) Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Provinsi Banten tahun 2025 yang akan berlangsung pada Senin, 25 Agustus 2025 di Alun-Alun Barat Kota Serang bukan hajatan biasa.
Dari laporan resmi yang diterima, tercatat 75 kendaraan roda empat, 8 bus, 4 elf, 6 angkot, dan 59 mobil pribadi sudah memastikan kehadiran dari Kabupaten Tangerang. Jumlah ini belum menghitung konvoi motor dari Panongan dan Guler yang juga akan bergerak. Bisa dipastikan, Kota Serang akan dipadati para kader NU dan masyarakat umum dalam hajatan tersebut.
Gerakan Rakyat dan Ekonomi Moral Bersama
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) akan melantik KH Achmad Syatibi Hambali sebagai Rais Syuriah dan KH Hafis Gunawan sebagai Ketua Tanfidziyah beserta jajaran untuk periode (2025-2030). Perhelatan ini, dengan mobilisasi warga nahdliyyin yang masif, mengingatkan kita bahwa NU adalah gerakan rakyat yang hidup di akar rumput.
Warga tidak menunggu undangan resmi, mereka hadir dengan caranya sendiri. Dalam sosiologi politik, fenomena ini disebut spontaneous collective action. Gerak sosial yang tumbuh bukan dari instruksi elite, tetapi dari ikatan emosional, kultural, dan spiritual.
KH Abdul Kodir, SQ, seorang aktivis NU dan Penasihat Yayasan Difabel Mandiri Indonesia dari Kota Tangerang, melaporkan bahwa kontribusi makanan dan minuman memperlihatkan wajah partisipasi yang unik. Ada yang menyumbang 20 kg jeruk dan pisang rebus, ada pula yang menyumbang Rp10 juta. Ada kue cincin dari daerah Kresek, singkong Thailand dari M3CB, hingga seekor kambing dari KH Fathullah.
Logika jemaah NU tidak berdiri pada kalkulasi ekonomi semata. Seorang kiai dari suatu kampung tercatat menyumbang 5 tandan pisang, sementara pejabat memberi belasan juta rupiah. Dalam jam’iyyah, keduanya setara karena sama-sama ikhlas. Inilah yang Clifford Geertz sebut sebagai shared moral economy. Dunia sosial NU ditopang oleh keyakinan pada barokah jemaah, bukan oleh ukuran kapital matematis semata.
Tradisi Perlawanan dan Jaringan Sejarah
Abdullah Alawi, pada bukunya yang akan diterbitkan GDN Press bekerja sama dengan NU Online berjuaul Bangkit dan Bergerak mencatat bahwa NU Banten pada masanya lahir dan tumbuh dari pesantren Menes, Pandeglang. KH Mas Abdurrahman Janaka mendirikan Pesantren Mathla’ul Anwar sejak 1916, dan dari sinilah NU merajut jaringan.
Pada Juli 1938, Menes menjadi tuan rumah Muktamar NU ke-13. Pemerintah kolonial Belanda bahkan meminjamkan meriam untuk menghormati hajatan tersebut. Saat itulah, Nyai Djuaesih, sebagai perempuan pertama yang pidato dalam Muktamar NU, diakui sebagai cikal bakal gagasan pembentukan Muslimat NU dicetuskan, bahkan pembentukan Departemen Pendidikan dalam struktur NU juga di Banten.
Artinya, pelantikan 2025 ini bukan sesuatu yang jatuh dari langit. Ia merupakan kelanjutan sejarah panjang NU Banten yang selalu menghadirkan rakyat dalam mobilisasi massal. Jika dulu jemaah hadir dengan kereta kuda dan pikulan, kini mereka hadir dengan bus, mobil pribadi, dan konvoi motor.
NU Banten juga mewarisi tradisi perlawanan. Geger Cilegon 1888, yang dipimpin oleh Ki Wasyid, adalah simbol keterlibatan ulama dan jemaah dalam menolak ketidakadilan kolonial. Sartono Kartodirdjo (1984) dalam The Peasants’ Revolt of Banten in 1888 menyebut pemberontakan itu sebagai kombinasi keprihatinan ekonomi dan mobilisasi religius.
Pelantikan PWNU Banten 2025, disertai mobilisasi bus dan makanan yang berlangsung secara gotong royong, tentu berbeda konteksnya dengan perlawanan petani. Tetapi ada benang merah, rakyat kecil selalu hadir untuk menegaskan eksistensinya melalui NU, entah dalam bentuk perlawanan atau konsolidasi kultural.
Tokoh lain, Arsyad Thawil al-Bantani, pernah memimpin gerakan resistensi pasca letusan Krakatau 1883, membuktikan ulama Banten punya tradisi politik perlawanan yang kuat. Sementara KH Syam’un, pendiri Pesantren Al-Khairiyah (1916) tidak hanya dikenal sebagai kiai, tetapi juga Bupati Serang dan pejuang kemerdekaan yang kini diakui sebagai pahlawan nasional.
KH Syam’un juga merupakan tokoh NU Cabang Serang yang hadir sejak Muktamar ke-5 di Pekalongan pada 1930. Aktivitasnya di NU dicatat Guneseikanbu pada buku Orang Indonesia jang Terkemoeka di Jawa (1944) sebagai salah seorang syuriyah.
KH Abdul Latif, pemimpin tarekat dan Pondok Pesantren Jauharatun Naqiyyah Cibeber, Cilegon, juga merupakan penggerak NU pada masa itu. Hadir ke muktamar NU ke-5 di Pekalongan bersama KH Syam’un. Menurut penuturan keturunanya, KH Abdul Latif terhubung kepada Kiai Ali yang dibuang Belanda ke Ambon karena turut serta dalam Geger Cilegon.
Para ulama tersebut adalah bukti bahwa kiprah mereka di Banten selalu memainkan peran ganda, baik spiritual, sosial, dan politik. Spirit itu kini dihidupkan kembali dalam Muskerwil PWNU, dari podium ulama ke ruang strategi pembangunan sosial yang membangkitkan warga.
Tiga Tantangan Mendesak
Deretan bus dari Curug, elf dari Rajeg, hingga angkot dari Jayanti lebih dari sekadar alat transportasi. Ia adalah simbol politik budaya. Dalam tafsir sosial, kendaraan yang melaju bersama adalah ritual mobilisasi kolektif yang harmonis, membawa pesan bahwa jemaah NU Banten siap bersatu membangun organisasi.
Kue cincin, siomay, dan nasi box adalah bahasa budaya rakyat. Ia menegaskan NU tidak elitis. Ia menyatu dalam simbol kuliner rakyat, sebuah cultural performance yang merekatkan jemaah dengan identitasnya.
Pelantikan ini juga merefleksikan wajah politik harapan. Di tengah krisis ekonomi, garis kemiskinan Banten 2024 mencapai Rp599.499 per kapita (BPS 2024), jemaah tetap hadir, tetap berbagi, tetap antusias.
Survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC, 2023) menunjukkan NU sebagai ormas Islam dengan tingkat kepercayaan publik tertinggi (80%). Fakta lapangan di Banten membuktikan data itu, NU tetap dipercaya rakyat sebagai tumpuan harapan.
Muskerwil PWNU Banten bukan sekadar pembagian struktur, setidaknya memiliki tiga agenda mendesak. Pertama, dalam pembangunan industri dan pesisir, ada tantangan ekologi. Reklamasi Teluk Banten, polusi industri di Cilegon, dan kerusakan pesisir menuntut NU hadir dengan ekoteologi.
Kedua, meningkatkan kapasitas ekonomi rakyat. Di tengah kenaikan harga kebutuhan pokok, NU harus hadir dengan koperasi, ekonomi jemaah, dan jejaring pesantren. NU harus mendorong keseimbangan pembangunan antara Tangerang Raya dengan wilayah Banten di pesisir utara dan selatan.
Ketiga, radikalisme agama di dunia digital. Laporan BNPT 2023 menempatkan Banten dalam zona cukup mengkhawatirkan dalam penyebaran intoleransi. NU harus menjadi penyeimbang narasi di ruang digital.
Inilah yang akan menentukan NU Banten lima tahun ke depan, apakah tetap berkutat dalam seremoni atau benar-benar menjawab persoalan rakyat.
Kita akan bayangkan suasana alun-alun. Ribuan warga NU berbusana putih, tabuhan hadrah, nasi box beredar, kue cincin manis berpindah tangan, anak-anak muda berswafoto dengan bendera NU. Semua itu bukan perayaan biasa, melainkan dramaturgi kolektif. Sebuah pentas budaya rakyat yang menghidupkan NU.
Anthony Reid (2010) menulis bahwa revolusi nasional Indonesia lahir dari mobilisasi rakyat yang spontan. Kini, semangat itu muncul kembali dalam semangat pelantikan pengurus NU Banten. Bukan dalam bentuk revolusi senjata, tetapi dalam revolusi kultural, rakyat bergerak demi NU, NU bergerak demi rakyat.
Pelantikan PWNU Banten 2025 menegaskan bahwa sebuah kebangkitan NU dimulai dari akar rumput. Tentu itu bukan sekadar slogan, melainkan kenyataan dengan mobilisasi deretan bus, dalam tandan pisang, dalam ribuan nasi box, serta jutaan rupiah sumbangan. Derai tawa bahagia dan alunan hadrah alun-alun mengiringi kegembiraan bersama.
Kita semua berharap, dari Menes 1938 hingga Kota Serang 2025, NU Banten tetap konsisten jadi rumah bagi rakyat. Pelantikan ini akan menjadi catatan historis penting sekaligus proyeksi masa depan. Dari akar rumput, NU Banten bangkit dan bergerak, jadi benteng tradisi sekaligus lokomotif perubahan.