Pustaka

Sato Reang, Barseso, dan Kematian yang Begitu Dekat

Senin, 16 Juni 2025 | 14:16 WIB

Sato Reang, Barseso, dan Kematian yang Begitu Dekat

Jilid Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong (Foto: Syakir NF/NU Online)

Kewajiban di mata seorang anak bukanlah sebuah hal yang perlu dilakukan saat itu juga. Mereka melakukan itu tidak lebih dari sekadar agar tidak terkena dampak negatif langsung yang bisa diterimanya kala hal tersebut tidak dilakukan. Tidak lebih. Misalnya saja, sabetan rotan yang siap datang jika sembahyang tidak ia lakukan. Tekanan yang demikian memang membuat anak disiplin, tetapi mereka tidak mendapatkan ruh atau substansi dari pelaksanaan kewajiban itu sendiri.


Hal demikian itu tampaknya yang dirasakan Sato Reang dalam novel Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong yang ditulis Eka Kurniawan. Sekalipun ia melaksanakan segala yang diperintahkan ayahnya, tetapi hatinya senantiasa menolak.


Ada hal yang tidak tersampaikan dalam diri Sato Reang atas segala perintah ayahnya. Bahkan kesenanganannya dalam bermain sepak bola pun harus dikubur lantaran bolanya dibelah menjadi dua saat ia dan rekanannya tak segera bergegas ke masjid ketika azan telah berkumandang. Pun hadiah boneka yang ia peroleh dari lotre yang dimainkannya itu pun dibakar ayahnya dengan sebatas penjelasan bahwa itu judi dan haram. Titik.


Penjelasan singkat itu tidak memberikan kepuasan bagi anak-anak. Tidak ada kebebasan bagi mereka untuk memilih dan mempertanggungjawabkan pilihannya. Anak hanya menerima perintah dan menghindari larangan tanpa ada dialog dengan semua hal itu.


Tindakan demikian tentu membentuk kejumudan mereka dalam berpikir atau bahkan menginspirasi anak-anak untuk berpikir jauh lebih dari yang dibayangkan. Jika ia melakukan hal yang dilarang, dunia bakal seperti apa; jika meninggalkan kewajiban, respons orang bakal bagaimana. Rasa penasaran yang demikian itu memuncak.


Hal serupa juga tampaknya diterima Jamal, rekannya yang dianggap paling saleh. Pada akhirnya, mereka sama-sama terjerumus dalam jurang kemaksiatan dengan mabuk-mabukan dan menonton video porno, sesuatu yang pada mulanya amat mereka hindari.


Kisah ini mengingatkan kita pada Barseso, sosok yang kerap diceritakan kiai di pesantren. Pada mulanya, ia adalah seorang saleh yang amat tekun beribadah. Namun, melihat seseorang yang demikian khidmat menangis dalam simpuh doanya itu membuatnya kagum, sesuatu yang barangkali tak dialaminya. 


Saat ditanya apa yang membuatnya demikian, orang tersebut menjawab bahwa ia pernah bermaksiat. Karenanya, ia menyarankan agar Barseso bermaksiat untuk dapat menikmati dan mengkhidmati ibadahnya.


Ujungnya, ia pun bermaksiat mabuk. Pikirnya, mabuk tidak mencederai orang lain. Namun, ia salah besar. Betapa mabuk itu menjadi biang dosa lainnya, mulai memerkosa perempuan hingga membunuh. Dan konon ia meninggal kafir karena tunduk pada kemauan Iblis yang menggodanya itu.


Gambaran masyarakat 
Lepas dari cerita tadi, ajaran agama seringkali disampaikan dalam dogma yang mengekang sehingga menimbulkan kesan garang. Padahal, Nabi Muhammad saw menyampaikannya dengan penuh kelembutan dan pelan-pelan tanpa paksaan. Ada dialog yang terus ditumbuhkan untuk membentuk laku agama bukan sekadar dogma, tetapi menjadi norma sosial. 


Hal demikian dibentuk melalui lingkungan yang mendukung dan doktrinasi yang dialogis. Nabi Ibrahim as mencontohkan betapa meskipun itu perintah Allah swt, hal wajib yang harus ditaatinya, tetap saja mengajak berdialog putranya, Nabi Ismail as saat hendak menyembelihnya. Ada pertukaran pikiran dan kesadaran yang terbentuk sehingga saling memahami satu sama lain.


Eka Kurniawan tampaknya hendak mengungkapkan kenyataan sosial, bahwa anak-anak tokoh agama sekalipun seperti Sato Reang yang merupakan putra dari seorang khatib dan rajin sembahyang di masjid dan Jamal yang merupakan cucu dari seorang ulama besar bisa terjerumus dalam jurang kemaksiatan.


Di sini, terlihat upaya penulis untuk mengungkapkan realitas sosial melalui tokoh-tokoh imaginer sehingga muncul gambaran yang hidup mengenai zamannya, sebagaimana diungkap Kuntowijoyo dalam "Budaya dan Masyarakat" (1987: 135). Dan barangkali bukan hanya zaman, tetapi juga lingkungan sekitarnya mengingat, seperti kata de Bonald, bahwa sastra merupakan wujud ekspresi masyarakat. 


Ini juga sejalan dengan Culler yang mendasarkan pada Phillipe Sollers, bahwa novel merupakan wacana yang melaluinya masyarakat mengartikulasikan dunia, sebagaimana ditulis Faruk dalam "Pengantar Sosiologi Sastra: dari Strukturalisme Genetik sampai Post-Modernisme" (1999: 47).


Putra tokoh agama adalah manusia yang tak perlu didewakan. Jangankan mereka, putra dan istri Nabi pun bisa terjerembab dalam ketidakpercayaan padanya, seperti Kan’an yang merupakan putra Nabi Nuh.


Tidak hanya itu, tampaknya Eka juga hendak menegaskan bahwa kematian merupakan sesuatu yang tak terduga dan bisa datang kapan saja, kepada siapa saja, di mana saja, dalam keadaan bagaimana saja. Jamal yang dikenal sebagai seorang alim di akhir hidupnya meninggal dalam keadaan mabuk gegara pengaruh rayuan rekanannya Sato Reang. 


Dalam Al-Qur’an surat Luqman ayat terakhir, “… wa maa tadri nafsun bi ayyi ardlin tamut…”, tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati.


Dari situ sebetulnya ditegaskan untuk pembaca agar senantiasa menjaga perilakunya dengan baik. Sebab, kita tidak mengetahui ajal kapan menjemput, sebagaimana kita juga tidak mengetahui esok bakal kerja apa, laki atau perempuan bayi dalam kandungan, jam berapa bakal turun hujan, dan kapan tiba hari kiamat. 


Itulah lima hal gaib yang tidak ada seorang pun mengetahuinya kecuali Allah swt seperti termaktub dalam ayat tersebut. Karenanya, kematian menjadi sesuatu yang begitu dekat karena kedatangannya yang bisa jadi tiba-tiba tanpa diduga.


Lepas dari kandungan cerita di atas, Eka Kurniawan tampak membuat gaya bercerita yang cukup berbeda dari novel-novel sebelumnya. Buku ini tampak sederhana dengan alur yang tidak sebegitu kompleks novel-novel lainnya, seperti O, Cantik Itu Luka, Lelaki Harimau, ataupun Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas. 


Dengan jumlah halaman yang lebih sedikit, memang tidak sebanding kompleksitasnya dengan novel-novel di atas. Buku ini lebih panjang dari cerita pendeknya yang cukup panjang berjudul Sumur.


Dari segi topik ceritanya, buku ini juga sedikit berbeda dengan karya-karya lainnya. Meskipun masih bertema sosial, tetapi buku ini sarat nuansa keagamaannya. Hal itu yang tidak begitu kentara dalam buku-buku karya Eka lainnya.


Ala kulli hal, selamat membaca.

Data Buku
Judul        : Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong
Penulis     : Eka Kurniawan
Tebal        : 133 halaman
Terbit        : Agustus 2024
Penerbit    : Gramedia Pustaka Utama
ISBN        : 978-602-06-7385-1
Peresensi : Syakir NF, penikmat sastra