Warta

Ada Agenda 'Asingisasi' di Balik Tuntutan Pembubaran LSF

Rabu, 27 Februari 2008 | 02:01 WIB

Jakarta, NU Online
Kelompok seniman yang menginginkan atau sekedar mendukung pembubaran Lembaga Sensor Film (LSF) secara tidak langsung telah memuluskan agenda penjajahan kultural di Indonesia, mengganti kultur masyarakat Indonesia dengan kultur asing.

"Target pembubaran LSF adalah asingisasi. Mereka mengadopsi liberalisme dan tidak mau mengakui akar kultur masyarakat Indonesia," kata Wowok Hesti Prabowo, anggota Pengurus Pusat Lembaga Seniman dan Budayawan Muslim Indonesia (Lesbumi), di Jakarta, Selasa (26/2), menyikapi proses judicial review UU Film Nomor 8 tahun 1992 tentang keberadaan LSF.<>

Pembubaran LSF, menurut Wowok, memang sangat tidak populis dan pemerintah tidak ada mengabulkannya. Tuntutan itu hanya terkait penarikan simpati masyarakat, yakni dengan memerankan diri sebagai kelompok yang berjuang demi kebebasan. Target pendeknya adalah membuka kran kebebasan berkesenian sedikit demi sedikit.

"Namun target panjangnya adalah meniadakan LSF sama sekali. Mereka yang mengadopsi liberalisme itu menginginkan adanya kebebasan tanpa batas. Padahal jargon pembebasan masyarakat yang selama ini mereka dengungkan cuma retorika. Kita tahu betul bahwa pada saat masarakat keberatan dengan kenaikan harga bahan bakar minyak, kelompok seniman yang menginginkan pembubaran LSF ini justru menerbitkan iklan besar-besaran mendukung kenaikan BBM," kata Wowok.

Selama ini, lanjutnya, masyarakat hanya bisa menggerutu. Kalangan seniman dan pebisnis hiburan yang menginginkan liberalisme sebenarnya hanya segelintir orang namun mereka disuport oleh jaringan dana yang kuat dan media massa. "Jadi ada semacam diktator minoritas," kata Wowok yang juga ketua yayasan Komunitas Sastra Indonesia (KSI).

Ditambahkannya kreasi seni untuk menyampaikan gagasan serta mengekspos nilai-nilai penting tidak harus dilakukan dengan aksi yang vulgar. Seni yang tinggi justru diperankan dengan bahasa simbol dan imajinasi. "Kebebasan yang diinginkan mereka itu justru kemunduran. Jadi perlu dibedakan antara kreasi seni dan sampah," katanya.

Sebelumnya Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi saat menandatangani MoU dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), di Jakarta, Selasa (26/2) mengeluhkan, saat ini muncul kecenderungan bahwa tayangan televisi atau film dengan penonton paling banyak, justru tidak memiliki unsur pendidikan dan pencerdasan kepada masyarakat.

Melalui kerja sama itu, NU dan KPI akan melakukan gerakan penyadaran kepada masyarakat tentang baik-buruknya dampak tayangan televisi. Saat ini sedang dilakukan inventarisasi terhadap seluruh tayangan televisi yang dinilai baik untuk masyarakat atau sebaliknya. (nam)


Terkait