Warta

FKB DPR Tolak UN Untuk SD

Rabu, 4 Juli 2007 | 00:32 WIB

Jakarta, NU Online
Fraksi Kebangkitan bangsa (FKB) DPR RI menolak dilaksanakannya Ujian Nasional (UN) di Sekolah Dasar (SD). Anggaran UN sebesar Rp 450 sebaiknya digunakan untuk memperbaiki kualitas pendidikan SD di pelosok tanah yang ternyata masih memprihatinkan.

Pelaksanaan UN juga dinilai bertentangan dengan pasal 58 ayat 1 UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang menyatakan bahwa evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik melalui memantauan proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.

<>

Wakil Ketua Komisi X DPR RI yang juga Wakil Ketua FKB DPR Masduki Baidlowi dan Sekretaris FKB DPR Hj Anisah Mahfudz pada wartawan di Gedung DPR/MPR RI Jakarta, Selasa (3/7) menyatakan, UN telah merampas hak guru dalam melakukan penilaian dan mengabaikan unsur penilaian yang berupa proses.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

”Yang dinilai dalam UN hanya satu aspek, yaitu kemampuan (kognitif), sedangkan aspek lain (keterampailan/psikomootorik dan sikap/afektif) tidak diujikan sebagai penentu kelulusan. Karena itu pemerintah harus segera mencabut PP No.19/2005,” tutur Anisah Mahfudz.

Disamping itu SD yang tersebar di Indonesia kondisinya berbeda-berbeda terutama di daerah terpencil dan tertinggal, di mana sarana dan prasarana, infrastruktur dan fasilitas pendidikan yang dimiliki sangat beragam. Sehingga kemampuan siswa dalam menyerap mata pelajaran juga berbeda.

Oleh sebab itu, lanjut Anisah Mahfudz dengan diberlakukannya UN SD ini adalah sangat tidak tepat dan bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Sementara pemerintah telah menetapkan wajib belajar 9 tahun dan direncanakan akan tuntas 2008. Jadi, dengan diberlakukannya UN SD dikhawatirkan mengganggu program wajib belajar 9 tahun yang sebagian besar di daerah pelosok pedesaan dan tertinggal. Untuk itu UN harus dihapus.

Menurut Masduki Baidlowi pemerintah seharusnya belajar dari pengalaman UN tingkat SMP dan SMU yang ternyata banyak menyisakan masalah dan mendapat protes keras masyarakat serta berdampak buruk bagi dunia pendidikan. Anak-anak mengalami depresi, terjadinya jual beli jawaban soal, dan sekarang ini banyak sekolah yang konsentrasinya pada mata pelajaran tertentu hanya untuk persiapan UN dan mengabaikan pelajaran yang lain.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Dengan demikian kata Masduki, pelaksanaan UN SD merupakan pemborosan, karena dengan alokasi anggaran sebesar Rp 450 miliar ternyata lebih banyak dipakai untuk membiayai barang dan menghambur-hamburkan anggaran. Apalagi belum dibuat sistem yang jelas atas pengelolaan anggaran tersebut serta tidak jelas pula pertanggungjawabannya. Karena itu FKB meminta kepada pemerintah agar anggaran Rp 450 miliar itu digunakan untuk memeprbaiki peningkatan mutu pendidikan SD yang kondisinya sangat memprihatinkan.

Dalam kaitan itu, menurut Masduki, pihaknya bersama 10 fraksi di DPR sepakat  akan melakukan lokakarya  guna mencari akar persoalan kenapa dalam kondisi yang memperihatinkan sekarang ini, Depdiknas  RI masih ngotot akan menyelenggarakan ujian nasional? Bahwa dengan UN ini Depdiknas kembali menorehkan sejarah kelam dunia pendidikan nasional dan itu membuktikan jika kebijakan Depdiknas tidak memiliki rasa empati dan peduli dengan kondisi yang sedang terjadi di masyarakat. Terutama peserta didik yang menolak UN.

DPD Tolak

Sementara itu anggota DPD RI asal Jawa Timur KH A Mujib Imron menegaskan jika UN Sditu merupakan program otoriter pemerintah dan telah melecehkan DPR RI dan DPD RI serta melecehkan aspirasi masyarakat yang sebelumnya sudah menolak UN SD tersebut.

”Pemaksaan UN sebagai penentu kelulusan itu sebagai otoriterisme pemerintah melebihi era Soeharto,” ujar Gus Mujib sapaan akrab pengasuh Pesantren Al-Yasini, Areng-Areng, Kraton, Pasuruan itu.

Gus Mujib mengakui memang ada kewenangan Depdiknas untuk melakukan evaluasi, tapi bukan untuk menentukan kelulusan siswa, melainkan untuk pemetaan program pemerintah sesuai dengan standar nasional pendidikan (SNP). Selain itu kualifikasi guru masih terjadi perbedaan, ketidaksamaan pandangan dan kualitas yang berbeda antara daerah yang satu dengan daerah yang lain.

”Terutama di daerah terpencil dan tertinggal seperti pedalaman Kalimantan, Sumatera, Papua, dan wilayah lain yang ternyata memang masih tertinggal dan banyak di antara mereka yang tidak lulus. Karena itu PP No. 19/2005 khususnya pasal 72 itu harus dicabut,” tutur Gus Mujib lagi.(nif/nam)


Terkait