Warta

Ketua MK: Keislaman dan Keindonesiaan harus Selaras

Jumat, 30 Maret 2007 | 09:09 WIB

Jakarta, NU Online
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie mengatakan perlunya penyelarasan antara keislaman dan keindonesiaan. “Kita harus memberi penyadaran kepada lingkungan ummat untuk menerima keindonesiaan apa adanya seperti menerima Islam apa adanya,” katanya dalam Temu Wicara dengan Muslimat NU, Kamis malam.

Diakuinya bahwa sebagian warga negara Indonesia memang belum bisa menerima konsep keislaman dan keindonesiaa sebagai satu kesatuan. “Banyak orang yang beranggapan menjadi Islam yang baik berbeda dengan menjadi warga negara yang baik,” tandasnya.

<>

Hal ini telah menimbulkan standard ganda dalam konsep berfikir masyarakat. Beberapa orang, katanya, sangat meninggikan hukum Islam tanpa mengindahkan hukum yang tertera dalam UUD 1945. Sedangkan sebagian yang lain bertindak sebaliknya.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Kondisi itu, menurut dia, dapat menimbulkan gesekan apabila masing-masing pihak saling memaksakan kehendak. "Jadi kuncinya bagaimana memahami dua konstitusi tersebut," katanya.

Pemahaman kedua konstitusi itu, menurut Jimly, harus dipahami sebagai proses yang tidak terpisahkan untuk menciptakan warga negara Indonesia yang beragama. "Ibaratnya hukum Islam di tangan kanan, konstitusi di tangan kiri," kata Jimly menambahkan.

Sikap Nahdlatul Ulama yang telah menegaskan kesetiaannya kepada bentuk NKRI dan Pancasila patut menjadi contoh untuk kemajuan bersama. Menjadi umat Islam yang baik bisa juga berarti menjadi warga negara yang baik..

Ia sangat menyesalkan upaya dari sekelompok kecil orang yang berusaha memaksakan keyakinannya dan merasa benar sendiri meskipun hanya masuk “pesantren kilat”, mengutip apa yang dikatakan oleh KH Hasyim Muzadi dalam temu wicara dengan MK sebelumnya. “Habis energi kita untuk mengurusi yang begini-begini. Minimal citra kita keburu negative,” tuturnya.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Hubungan yang harmonis antara umat Islam dengan aturan perundang-undangan digambarkannya seperti masa kehidupan Rasulullah di Madinah yang menyepakati adanya piagam Madinah sebagai kontrak sosial antar umat beragama dan ketaatan menjalankan perintah Nabi Muhammad sebagai seorang Rasul. (mkf)


Terkait