Warta

Maklumat PBNU tentang NU dan Pilkada

Rabu, 20 Februari 2008 | 10:23 WIB

Hajatan pemilihan kepala daerah (pilkada) yang marak belakangan ini, tampaknya cukup berpengaruh pada Nahdlatul Ulama (NU). Kader-kader NU pun bermunculan untuk tampil dan berpartisipasi dalam pesta demokrasi lokal itu.

Sejumlah masalah muncul. Tak sedikit pula dari pilkada itu berakhir dengan tindakan kekerasan. NU kena getahnya. Tarik-menarik kepentingan politik praktis yang melibatkan organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia itu pun tak terhindarkan.<>

Ketua Umum Pengurus Besar NU KH Hasyim Muzadi, beberapa waktu lalu melontarkan pernyataan kontroversial. Menurut dia, sebaiknya pilkada dihapuskan. Kepala daerah lebih baik dipilih oleh dewan perwakilan rakyat di masing-masing daerah.

Namun, pernyataannya tak memuaskan sebagian kalangan. Dalam siaran pers yang diterima NU Online, ia menyampaikan pendapatnya secara lengkap, sebagai berikut:

1. Saya mengetengahkan pemikiran agar pilkada langsung dikembalikan ke pemilihan oleh DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) dimaksudkan untuk mengurangi beban polarisasi dalam masyarakat yang menumbuhkan konflik, persaingan tidak sehat, tumbuhnya broker-broker amatiran, serta ganasnya money politic (politik uang) di kalangan masyarakat luas. Hal ini, sama sekali bukan sebuah asumsi bahwa di tangan DPRD, rekayasa dan money politic akan hilang. Tapi, paling tidak, dibatasi eksesnya (akibat buruknya). Saya sadar bahwa elit politik pasti banyak yang keberatan. Sedangkan para pakar kenegaraan banyak yang setuju.

2. Karena pilkada tetap berjalan dan seterusnya berjalan, maka, tidak bisa lain, kecuali PBNU harus menentukan aturan main buat pengurus NU dan warga Nahdliyin (sebutan untuk warga NU).

3. Aturan tersebut cukup sederhana, yakni, warga NU bebas memilih; institusi NU atau simbol dan fasilitas NU tidak boleh dilibatkan. Pengurus harian NU atau badan otonom harus nonaktif selama proses pencalonan. Apabila yang bersangkutan terpilih, otomatis lepas dari pengurus karena tidak boleh dirangkap dengan jabatan publik. Apabila tidak terpilih, dia boleh kembali dengan persetujuan pihak yang dulunya memilih.

4. Banyak kritik pedas, bahkan cercaan terhadap beberapa tokoh NU yang mencalonkan atau dijadikan calon...... ‘sebagai tidak Khittah dan bersyahwat politik’. Padahal, Khittah 1926 dilakukan institusional. NU, sebagai organisasi, tidak mungkin ‘menghilangkan’ hak seorang warga negara yang ketepatan jadi NU untuk berpolitik. Yang bisa adalah mengatur mekanismenya. Sehingga, masalahnya bukanlah ‘syahwat’ politik atau ‘impotensi politik’. Namun, pengaturan mekanik yang sinergis. Cercaan itu disebabkan banyak hal. Misalnya: belum tahu duduk masalahnya, dirugikan kepentingan politiknya, atau belum kebagian porsi politik.

5. Contoh: Fauzi Bowo saat mencalonkan Gubernur DKI Jakarta, ia nonaktif sebagai Ketua Pengurus Wilayah NU. Jabatannya kemudian dilimpahkan pada Muhyidin Lc. Sekarang, ia terpilih dan proses pergantian SK (Surat Keputusan) oleh PBNU harus segera dilakukan. M Adnan (Ketua Pengurus Wilayah NU Jawa Tengah), saat ini telah nonaktif, seharusnya juga demikian Saifullah Yusuf. Sedangkan Ali Maschan Moesa (Ketua Pengurus Wilayah NU Jawa Timur), harus nonaktif juga ketika nanti deklarasi (pencalonannya).

6. Banyaknya tokoh NU yang diambil sana-sini (baca: ditarik banyak kepentingan politik praktis) tidak mengindikasikan turunnya martabat NU selama aturan main dipakai. Dan, ...apabila tidak selalu bergabung dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), hal itu karena dua faktor. Pertama, kebebasan warga NU dan sudah lama ada gejala PKB gagal mewakili wacana dan aspirasi warga NU.

7. Terlalu banya pihak yang sangat khawatir kalau NU bersatu dalam satu titik pilihan menciptakan keruwetan tersendiri yang kadang-kadang menggunakan orang ‘dalam’ NU.

8. Jarang ada kiai sepuh yang mencalonkan jadi kandidat. Yang ada adalah beliau-beliau (para kiai) ditarik sana-sini sehingga berbahaya. Sedangkan, kebiasaan kiai selalu husnudzon (berbaik sangka) sehingga sering lupa bahwa yang dihadapi adalah politisi. Hal ini menjadi berat karena dalam 5 tahun, kita melakukan pemilihan umum sebanyak 6 kali: tingkat desa, tingkat kota/kabupaten, tingkat provinsi, pemilihan presiden, pemilihan anggota DPR RI, pemilihan anggota DPD RI.

9 . Kalau ada warga NU memiliih sesama orang NU atau yang cocok dengan NU, apanya yang salah? Kebebasan telah digariskan. Maka, kita ambil semua konsekuensinya.


Pengurus Besar Nahdlatul Ulama



Hasyim Muzadi
Ketua Umum


Terkait