Warta

Rakyat Indonesia Masih Setia Pada Pancasila

Selasa, 6 Juni 2006 | 10:34 WIB

Jakarta, NU Online
Kembali mengemukanya perdebatan tentang Pancasila, mendapat tanggapan dari Pengamat Politik J Kristiadi. Pengamat asal CSIS ini mengatakan, hingga saat ini rakyat Indonesia masih setia pada Pancasila. Justru elit politiklah yang patut diragukan kesetiaannya pada Pancasila. Menurutnya, elit politik di Indonesia selama ini kerap menyalahgunakan asas negara itu untuk kepentingan kekuasaan.

Hal itu disampaikannya saat hadir sebagai narasumber pada seminar nasional yang digelar oleh Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII) di Gedung Joang, Jalan Menteng Raya, Jakarta Pusat, Selasa (6/6). Selain J. Kristiadi, hadir juga pada acara bertajuk “Rejuvenasi Pancasila dalam Bingkai NKRI” itu, Ketua HKTI Siswono Yodhohusodo dan mantan aktvis YLBHI Robertus Robert.

<>

Bukti bahwa rakyat Indonesia masih tetap setia pada Pancasila, terang Kristiadi, bisa dilihat dalam kasus bencana tsunami yang melanda Aceh 2005 silam serta gempa bumi di Yogyakarta dan sekitarnya beberapa waktu lalu. Dalam bencana itu, katanya, menjadi bukti solidaritas bangsa Indonesia dalam membantu para korban.

“Saat bencana tsunami, banyak bantuan dari rakyat Indonesia dikirimkan ke Aceh untuk membantu para korban. Gemba bumi di Yogyakarta juga begitu. Itu jadi bukti bahwa bangsa kita ini punya peradaban yang menurut saya itu merupakan penghayatan dari nilai-nilai Pancasila,” terang Kris, begitu ia akrab disapa.

Di sisi lain, imbuh Kris, elit politik Indonesia yang selalu memanipulasi Pancasila demi kepentingan kekuasaan yang sangat pragmatis. “Pancasila hanya jadi jargon politik saja, tapi tidak terimplementasikan dalam perilaku politiknya. Elit politik kita sering memanipulasi Pancasila sesuai dengan kepentingannya sendiri. Pancasila ditafsirkan untuk mencari kekuasaan yang sangat pragmatis,“ terangnya.

Senada dengan Kris, Robertus Robert mengatakan, pragmatisme dari para elit politik Indonesia merupakan pragmatisme berlebihan. Pro-kontra RUU APP, katanya, cukup menjadi bukti bahwa elit politik Indonesia tidak menerapkan Pancasila.

“Dalam kasus RUU APP, Wakil Presiden (Jusuf Kalla) misalkan mengatakan bahwa lebih baik memperhatikan aspirasi yang lebih banyak. Begitu juga dengan Balkan Kapalele (Ketua Pansus RUU APP) yang menyatakan dukungan mayoritas harus lebih dihargai. Berarti mereka memaknai demokrasi itu sebagai demokrasi kuantitatif atau demokrasi generik,“ terang Robert, demikian ia akrab disapa.

Di tengah pemaknaan demokrasi sempit itu, kata Robert, maka dibutuhkan sebuah fundamen yang bisa menjadi landasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Fundamen itu, menurutnya adalah Pancasila. “Pancasila ini bisa menjadi batas antara demokrasi dan tatanan kehidupan berbangsa dan benegara,“ tandasnya.

Sementara itu, mengutip pendapat Talcot Parson (Sosiolog), Siswono Yudhohusodo dalam paparannya menjelaskan, ada empat faktor yang menjadi fungsi masyarakat. Pertama, sebuah masyarakat harus bisa memelihara nilai-nilai budayanya yang unggul. Kedua, kemampuan beradaptasi atau menyesuaikan diri terhadap perubahan yang terjadi. Ketiga, fungsi integrasi atas kekuatan-kekuatan yang ada di dalam masyarakat dan keempat, sebuah masyarakat harus mempunyai tujuan bersama.

Keempat hal tersebut, kata Siswono, telah tercakup di dalam Pancasila. “Keempat hal tersebut telah mengkristal di dalam Pancasila,“ tegasnya. (rif)


Terkait