Warta

Trend Hidup di Perkotaan, Nahdliyyin Perlu Siapkan Mental dan Skill

Rabu, 27 Juni 2007 | 11:34 WIB

Jakarta, NU Online
Kecenderungan untuk hidup di daerah perkotaan telah mendunia. Kota-kota besar di Indonesia juga mengalami hal yang sama dengan besarnya arus urbanisasi dari kawasan pedesaan ke kota-kota besar.

Hal ini terungkap dalam acara Seminar Nasional Pertumbuhan Penduduk Perkotaan dan launching buku State of World Population Report 2007 yang diselenggarakan oleh Ikatan Peminat dan Ahli Demografi Indonesia (IPADI), Depnakertrans dan UNFPA di Jakarta, Rabu.

<>

Proporsi penduduk kota-desa di Indonesia mengalami perubahan yang signifikan dari masa ke masa. Pada tahun 1971 hanya 19 persen penduduk yang tinggal di perkotaan, tapi telah meningkat menjadi 22.7 persen pada tahun 1980 yang lalu menjadi 30.9 persen pada tahun 1990. Tahun 2000 komposisi penduduk kota mencakup 42.5 persen dan saat ini diperkirakan sekitar 50 persen. DKI Jakarta bahkan 100 persen merupakan wilayah perkotaan.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Ketua IPADI HM Rozy Munir menjelaskan bahwa perpindahan ini juga melibatkan para warga NU yang sebelumnya berprofesi sebagai petani di desa-desa yang melakukan imigrasi untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik.

Dikatakannya bahwa perubahan paradigma ini sangat penting karena konsep hidup di desa dan di kota sangat berbeda dengan tingkat kompetisi yang sangat tinggi. Beberapa aspek yang perlu disiapkan diantaranya adalah pendidikan, psikologi dan ekonomi.

“Jika ingin sukses di kota, warga NU harus siap untuk berkompetisi dengan tak lupa menyiapkan aspek skill selain tetap menjaga nilai-nilai agama, kalau tidak akan tergilas,” paparnya.

Mereka yang tersingkir dan tidak bisa berkompetisi akhirnya memasuki sektor-sektor informal atau menjadi buruh lepas atau bahkan menjadi pengangguran yang menimbulkan masalah-masalah sosial.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Rozy Munir yang juga ketua PBNU ini menjelaskan bahwa di kota-kota tertentu, kultur keagamaan yang sesuai dengan nahdliyyin masih kuat seperti komunitas Betawi di Jakarta sehingga secara tradisi keagamaan tak masalah. Berbagai masjid dan musholla dengan gampang bisa ditemukan.

Untuk mengatasi kesenjangan hubungan antara kota-desa ini, dosen kependudukan di Universitas Indonesia ini berharap agar pemerintah mendesain hubungan yang terbuka antara desa dan kota sehingga informasi bisa berjalan dengan lancar.

Selain itu ia meminta agar pembatasan untuk masuk ke kota tertentu, kebijakan tertutup, semi tertutup sampai dengan penggusuran harus dihilangkan karena melanggar HAM. “Semua orang harus diberi kesempatan untuk berkembang sesuai dengan potensi yang dimiliknya,” tandasnya.

Sementara itu untuk menekan laju urbanisasi, kementerian Menakertrans meluncurkan program transmigrasi Kota Terpadu Mandiri (KTM) yang menyediakan fasilitas lengkap di daerah-daerah transmigrasi yang 15-20 tahun ke depan bisa menjadi daerah perkotaan untuk membangun potensi yang dimiliki masing-masing daerah. Menakertrans Erman Suparno yang hadir dalam acara ini menjelaskan tahun ini hanya 18.200 KK yang diberangkatkan karena keterbatasan dana. (mkf)


Terkait