Kakek tua itu bernama Mardi Raharjo. Kami terbiasa memanggilnya Mbah Mardi. Tubuhnya tidak segesit dulu. Tetapi ia hampir tidak pernah datang terlambat untuk shalat berjamaah di masjid kampus kami.<>
Bahkan ketika kami sedang melakukan kegiatan kampus, ia yang menyerukan adzan dan iqomah. Suaranya memang tidak lantang, tapi mampu memaksa kami datang.
Suatu hari aku berpapasan dengannya di samping masjid. Ia terengah-engah ketika berjalan menuju rumahnya yang berjarak hanya 50 meter dari masjid. Untuk seorang Mbah Mardi yang sudah udzur, 50 meter itu saja sudah cukup melelahkan.
Sering kali aku memperhatikannya saat shalat berjamaah. Nafasnya tersendat-sendat kudengar. Dan ketika aku di belakangnya, terlihat pundak dan tangannya terangkat saat bernafas.
"Mbah, semangatmu untuk berjamaah sangat luar biasa," kataku dalam hati saat itu.
Tanggal 7 Oktober 2014 kemarin, selepas fajar, saatnya pun tiba. Mbah Mardi dipanggil oleh Allah SWT.
Sesaat sebelumnya, pada jam 3 dini hari, ia minta kepada sang istri untuk memandikannya. Setelah itu ia minta segelas air putih dan meminumnya. Kemudian... tubuhnya ringan.
Kabar kematiannya begitu menggertak hati. Aku turut memandikannya. Dan.. wajah Mbah Mardi berseri-seri. Ia terlihat bahagia, entah karena apa. SubhanaAllah. Semoga ia adalah salah satu dari sedikit manusia yang dicintai surga.
Tapi satu hal yang mengusikku. Tidak ada lagi sekarang seorang kakek tua yang membacakan adzan untuk kami, di masjid kampus kami
Ahmad Syaefudin, Yogyakarta
Terpopuler
1
Tanggapan Rais Syuriyah PCNU Pemalang atas Bentrok FPI dengan PWI-LS
2
Ini Doa Memasuki Bulan Shafar, Lengkap dengan Transliterasi dan Terjemahnya
3
Mustasyar PBNU Serukan Pentingnya Nahdliyin Jaga Pemahaman Islam Moderat di Masyarakat
4
PBNU Akan Luncurkan Penulisan Sejarah NU Jilid Pertama pada Peringatan Satu Abad Masehi 31 Januari 2026
5
Salah Kaprah Memaknai Uang Haram sebagai Rezeki
6
RMINU Jabar Dorong Pemprov Tindak Lanjuti Evaluasi Hibah Pesantren
Terkini
Lihat Semua