Jejak Sejarah Masjid Al-Falah Bungo, Berawal dari Surau, Warisan Arsitektur Jawa dan Minang
NU Online · Kamis, 10 Juli 2025 | 10:00 WIB
Syarif Abdurrahman
Kontributor
Bungo, NU Online
Bagi yang suka traveling dan lewat di lintas Sumatra jalur tengah, sebaiknya mampir serta shalat di Masjid Besar Al-Falah di Dusun Empelu, Kecamatan Tanah Sepenggal, Kabupaten Bungo, Jambi. Bukan tanpa alasan, Masjid Al-Falah merupakan salah satu tujuan wisata religi yang menyimpan sejarah panjang peradaban Islam di Provinsi Jambi karena berdiri sejak tahun 1812 Masehi. Hal ini juga menjadikan Masjid Al-Falah sebagai salah satu masjid tertua di bumi Sumatra.
Berjarak 31,6 KM dari Muara Bungo, pusat ekonomi dan pemerintahan Kabupaten Bungo. Menuju masjid ini bisa ditempuh dengan kendaraan roda dua dan empat, karena letaknya tidak jauh dari lintas Sumatra jalur tengah. Di zaman dulu, akses menuju masjid ditempuh dengan jalur Sungai Batang Tebo, Jambi menggunakan perahu. Lokasi masjid berada di tepi aliran sungai Batang Tebo.
Menurut tokoh masyarakat Dusun Empelu, Datuk Rifa'i, Masjid Al-Falah adalah bukti bahwa peradaban Islam di Provinsi Jambi sudah berkembang sejak dulu. Baik dari segi ilmu, budaya, hingga seni. Karena Masjid Al-Falah sudah memadukan arsitektur Jawa dan Minang meskipun sebelumnya Masjid Al-Falah merupakan sebuah surau.
Awal berdiri, pengerjaan masjid tersebut dikerjakan secara bertahap. Sehingga akhirnya bentuk bangunan itu cukup megah seperti sekarang. Kala itu, Dusun Empelu pernah dipimpin oleh seorang Rio Agung Niat Tuanku Kitab. Rio Agung Niat Tuanku Kitab disebut-sebut merupakan Rio pertama di wilayah itu.
Rio Agung mengajak masyarakat Desa Empelu untuk bergotong royong mengambil kayu di hutan, untuk membangun sebuah rumah ibadah yang pada saat itu disebut pertama sekali sebagai Surau Al-Falah.
"Dulu orang sering mendatangi masjid ini untuk berdoa atau melihat arsitektur masjid, mereka datang dari dalam dan luar negeri. Ada kepercayaan, berdoa di sini mudah dikabulkan," jelas Datuk Rifa'i saat ditemui NU Online, Rabu (9/7/2025) di Empelu, Bungo.
Menurut penuturannya, pendirian awal Masjid Al-Falah dikerjakan oleh Rio Agung bersama masyarakat, atas titah Pangeran Anom. Saat didirikan, bentuk bangunan Masjid Al-Falah masih berbentuk rumah panggung yang terdiri dari beberapa tiang, beratap daun rumbia, dengan dinding dari kayu, lantai dari bilah, bentuknya seperti rumah adat Bungo.
Datuk Rifa'i menambahkan, seiring berjalannya waktu, Surau Al-Falah direnovasi dan diubah namanya menjadi Masjid Al-Falah oleh Pangeran Anom. Alat yang digunakan juga cukup sederhana. Penggunaan masjid tersebut juga untuk kepentingan kemasyarakatan dan pemerintahan.
"Sebelum Pemerintahan Belanda berkuasa penuh pada 1906, daerah Kabupaten Bungo atau dikenal dengan Muara Bungo diperintah oleh seorang yang bergelar Pangeran Anom," katanya.
Dikatakannya, Pangeran Anom saat itu berkedudukan di Balai Panjang (Dusun Tanah Periuk) yang merupakan pusat pemerintahan kala itu. Pangeran Anom tersebut disamakan dengan Wakil Rajo atas Surat Perintah (ketetapan) dari Sultan Jambi. Karena kedudukannya, Pangeran Anom diberi sebutan sebagai Lantak Nan Tak Goyah.
Kekuasaan Pangeran Anom membawahi beberapa negeri yang disebut Bathin, seperti Bathin Batang Bungo, Bathin Jujuhan, Bathin Batang Tebo, dan Bathin Batang Pelepat. Daerah Bathin membawahi beberapa dusun yang kepala pemerintahannya disebut Rio.
"Pada tahun 1827, Surau Al-Falah direnovasi menjadi bangunan berbatu dengan tembok dari semen. Pengerjaan bangunan dikerjakan oleh Abu Kasim dari Pulau Jawa dan telah lama tinggal di Malaysia," imbuh Datuk Rifa'i.
Renovasi Besar-besaran
Dalam arsip-arsip yang disimpan Datuk Rifa'i, pada 1837, bangunan masjid kembali direnovasi. Proses pengerjaan renovasi bangunan masjid, dikerjakan oleh seorang pekerja dari tanah Minang yaitu Bukittinggi bernama Mangali.
Saat itu, bangunan mulai tampak indah dengan keindahan seni arsitektur bangunan serta interior yang cukup menarik. Selain itu, terkandung pula simbol-simbol atau makna-makna yang cukup luas dari bentuk fisik bangunan.
Datuk Rifa'i menjelaskan, makna arsitektur Masjid Al-Falah terdiri dari 5 anak tangga yang bermakna jumlah Rukun Islam. Tangga depan pintu utama berjumlah 17 buah yang bermakna jumlah 17 rakaat shalat dalam sehari.
Gubah Masjid 5 buah terdiri dari 1 ghubah utama, 2 ghubah menengah, dan 2 ghubah kecil. Kelima Ghubah ini mempunyai makna 5 Rukun Islam. Masjid juga memiliki kolam ikan dan tempat wudhu yang dialiri air dari perbukitan.
Jendela Masjid berjumlah 13 buah yang mempunyai makna jumlah rukun shalat 13 yaitu: Niat, berdiri bagi yang mampu, takbiratul ikhram, membaca Al Fatihah, ruku', i'tidal, sujud, duduk diantara dua salam, duduk pada tasyahud akhir, membaca tasyahud akhir, membaca shalawat nabi, salam dan tertib.
"Pada tahun 1856 atap masjid direnovasi, yang awalnya genteng diganti dengan seng. Perajin saat itu yaitu Datuk Sari Amin," bebernya.
Selama lebih dari satu abad, tidak ada renovasi. Pada tahun 1967, kembali dilakukan pemugaran masjid dengan memperbarui dua menara rendah. Menara itu terletak di sudut depan masjid, seperti saat ini.
Pada saat itu, Dusun Empelu dipimpin oleh Rio Abdul Kadir. Selain itu juga dilakukan kembali pengerjaan masjid dengan menukar tiang menara tinggi sebanyak 8 batang yang merupakan tiang dasar kaki menara.
Bahan tiang yang awalnya dari kulim, diganti dengan tiang dari kayu bulim (ulin). Kayu tersebut menurut cerita tokoh masyarakat setempat, diperoleh dan diambil secara bergotong royong oleh masyarakat Desa Empelu dari daerah Bukit Bulim (daerah Bukit Kemang).
"Pada tahun 2010 perenovasian kembali, mengganti ghubah utama menjadi beton, karena konsidisi kayu yang lapuk, seng bocor. Selain tiang utama, jendela dan pintu utama. Sayangnya, meskipun jadi tujuan wisata religi dan masjid sejarah, renovasi umumnya dari inisiatif warga. Bukan pemerintah,"ungkap Datuk Rifa'i.
Bentuk Bangunan Masjid Al-Falah
Datuk Rifa'i menjelaskan, bangunan induk pada Masjid Empelu atau Masjid Al-Falah pada awalnya berbentuk segi empat dengan ukuran 18,75 x 12,90 meter. Bangunan ini menghadap ke barat dengan sudut kemiringan 48 dari utara magnet. Masjid ini dibuat dengan menggunakan konstruksi pasangan bata dan kayu.
Konstruksi beton digunakan pada dinding. tiang teras, lantai, pondasi, pagar, tangga masuk dan gerbang, serta bak air wudhu. Sedangkan konstruksi kayu digunakan pada menara, atap, jendela, dan pintu.
Tanah di lokasi masjid merupakan daerah tebing, oleh karena itu lantai masjid dibuat lebih tinggi dari jalan aspal. Ketinggiannya 3,27 meter, maka untuk menuju ke lantai masjid dibuat tangga dari beton cor yang masing-masing undakan ukurannya bervariasi antara 0,07 sampai dengan 0,20 meter.
Pada pintu utama masjid dibuat anak tangga yang berjumlah tiga undak. Pada kiri kanan tangga dilengkapi dengan tiang pilar. Pilar kecil yang berbentuk segi empat dan ujungnya dibuat berbentuk limas.
Pilar yang terletak di depan pintu tingginya 0,77 meter dan pilar pada ujungnya berukuran 0,46 meter. Dinding pilar-pilar dihubungkan dengan tembok semen dengan lebar 0,20 meter. Lantai teras yang menempel pada dinding mihrab mempunyai ukuran lebih kecil dari ukuran lantai teras yang terdapat di dekat pintu masuk. Ukuran lantai tersebut 3,40 x 4,10 meter.
"Tiang Saka Guru berjumlah empat buah dengan ukuran tinggi 5,90 meter dan diameter 0,38 meter (segi delapan),"cerita Datuk Rifa'i penuh semangat.
Pada bagian puncak kubah terdapat mustaka yang terbuat dari kayu dan kemudian dilapisi seng. Mustaka tersebut pada bagian puncaknya dihias dengan bentuk bintang dan bulan sabit yang bahan bakunya berupa seng.
Pondasi masjid Empelu dibuat dengan menggunakan konstruksi beton cor. Beton fondasi tersebut mempunyai bentuk balok persegi empat yang disusun sepanjang dinding masjid. Fondasi masjid ini pada masing-masing sisi dibuat dengan ketebalan yang berbeda.
"Ini disebabkan karena tanah pada lokasi masjid ini sangat miring/terjal, tapi karena letaknya di dalam tanah, maka ukurannya tidak dapat diketahui dengan pasti," kata Datuk Rifa'i.
Pusat Kegiatan Masyarakat
Randi Saputra, pemuda setempat menjelaskan bahwa Masjid Al-Falah dalam sehari-hari digunakan sebagai pusat kegiatan agama. Selain digunakan untuk shalat lima waktu dan shalat Jumat, masjid ini digunakan juga untuk acara seperti Musabaqah Tilawatil Qur'an, pelepasan jamaah haji, peringatan maulid nabi, isra mi'raj, dan kirim doa untuk leluhur.
"Masjid digunakan pusat kegiatan masyarakat, karena kantor Rio depan masjid, terdapat Rumah Penghulu (Umah Lamo) yang mulai dibangun pada akhir abad 18," ungkapnya.
Terbaru, ada ritual minta hujan yang berdasarkan adat Dusun Empelu disebut Balayei di Lubuk Sakti. Terkadang masjid juga menjadi tempat berunding atau musyawarah sebelum dilakukan kegiatan adat.
Di Empelu, adanya tradisi bantai sehari menjelang bulan Ramadhan, tradisi mandi bekasai menjelang hari raya Idul Fitri. Ada juga pembuatan Bubur Tigo Perkaro sebagai prasyarat dalam upacara tolak balak, ada tradisi Palaghin (sistem gotong-royong menggarap sawah/ladang semua anggota kelompok tani) dan berbagai tradisi lainnya.
"Bagi masyarakat sini, masjid adalah kebanggaan, simbol persatuan dan semangat gotong royong. Sebab, masjid adalah milik bersama. Semoga masjid bersejarah seperti ini ada perhatian khusus dari pemerintah," tutupnya.
Terpopuler
1
Dilantik, Berikut Susunan Lengkap Idarah 'Aliyah JATMAN Masa Khidmah 2025-2030
2
Khutbah Jumat: Muharram, Bulan Hijrah Menuju Kepedulian Sosial
3
Penggubah Syiir Tanpo Waton Bakal Lantunkan Al-Qur’an dan Shalawat di Pelantikan JATMAN
4
Rais Aam PBNU: Para Ulama Tarekat di NU Ada di JATMAN
5
Gencatan Senjata Israel-Hamas
6
Gus Yahya: NU Berpegang dengan Dua Tradisi Tarekat dan Syariat
Terkini
Lihat Semua