Daerah

Keunikan Masjid Tua Wapaue di Maluku Tengah

Rabu, 9 Agustus 2023 | 10:00 WIB

Keunikan Masjid Tua Wapaue di Maluku Tengah

Masjid Tua Wapaue di Keitetu, Maluku Tengah. (Foto: NU Online/Musthofa Asrori)

Ambon, NU Online
Jika Anda berkesempatan menginjakkan kaki di Pulau Ambon, Provinsi Maluku, alangkah baiknya meluangkan waktu mengunjungi Masjid Tua Wapaue, sebuah masjid unik berusia lebih dari 600 tahun. Hingga kini, masjid tua itu berdiri megah di Desa Kaitetu, Kabupaten Maluku Tengah.


Masjid yang disebut-sebut tertua di Maluku ini menyimpan banyak keunikan. Pada prasasti yang berdiri di samping masjid tertulis bahwa Masjid Wapaue didirikan oleh Perdana Jamillu, orang kaya dari Alahahulu, di Wawane, pada tahun 1414 Masehi.

 

"Pada tahun 1614 dipindah oleh Imam Rijalli ke Tehalla, 6 km sebelah timur Wawane. Pada tahun 1664 masjid tururn ke negeri Atetu lengkap dengan peralatan ibadahnya. Ciri khas bangunan induknya tanpa mempergunakan paku," demikian tertulis di prasasti itu.

Bersama tim kecil dari Balitbang Diklat Kemenag RI diantar Mohammad DJ Parry alias Adung, pegawai Balai Diklat Keagamaan Ambon, NU Online  berkesempatan mengunjungi masjid tersebut pada Selasa (8/8/2023).

 

"Subhanallah ya. Ini masjid benar-benar unik. Meski sudah tua, tapi tetap terawat dengan baik. Ini seharusnya menjadi perhatian pemerintah setempat. Misalnya memperbagus akses ke sini agar menjadi kawasan wisata religi," kata Lando Akbar (Adung), koordinator tim kecil dari Balitbang Diklat Kemenag.

 

Adung mengatakan, menurut kisah orang-orang tua dulu, Perdana Jamillu pada tahun 1414 menjadi pelaku sejarah penyebaran agama Islam di Maluku. Keturunan Kesultanan Islam Jailolo dari Moloku Kie Raha (Maluku Utara) itu datang ke tanah Hitu untuk menyebarkan agama Islam pada 1400 M.

 

"Ia menyebarkan ajaran Islam pada lima negeri di sekitar pegunungan Wawane, yaitu Assen, Wawane, Atetu, Tahala, dan Nukuhaly, yang sebelumnya telah dibawa mubaligh dari Arab. Awalnya, Masjid Wapaue bernama Masjid Wawane karena terletak di Lereng Gunung Wawane," tutur Adung.

 

Di masa penjajahan Belanda, masjid sempat dipindah ke Kampung Tehalla yang berjarak enam kilometer di sebelah timur Wawane pada tahun 1614. Hal ini karena Belanda mengganggu kedamaian penduduk kampung yang menganut ajaran Islam dalam kehidupan keseharian mereka.

 

Di lokasi yang baru ini, masjid berdiri di wilayah yang banyak ditumbuhi pohon mangga berabu (mangga hutan) yang dalam bahasa Kaitetu disebut Wapa. Akhirnya, masjid berganti nama menjadi Masjid Wapaue, artinya masjid yang didirikan di bawah pohon mangga.

 

Pada tahun 1646, Belanda berhasil menguasai Tanah Hitu usai perang Wawane dan Perang Kapaha. Kebijakan politik Belanda meminta masyarakat turun gunung ke pesisir untuk memudahkan pengawasan.

 

Dengan aturan tersebut, Masjid Wapaue ikut pindah lokasi ke Kaitetu, lokasi saat ini. Pemindahan masjid termasuk lima negeri yang terjadi pada tahun 1664 itu dikenal sebagai tahun berdirinya Negeri Kaitetu.

 

Keunikan arsitektur Masjid Wapaue menjadi daya tarik tersendiri. Meskipun masjid ini berkali-kali direnovasi, namun bentuk aslinya tetap dipertahankan. Masyarakat bersepakat untuk tidak mengubahnya sedikit pun. Masjid dibangun dengan kayu dengan luas 10 x 10 meter. Salah satu ciri khas bangunannya adalah menggunakan gaba-gaba atau pelepah sagu serta rumbai sebagai atapnya.

 

Di bagian dalam Masjid Wapaue, ada empat tiang yang merupakan pilar asli sejak awal dibangun. Dindingnya terbuat dari papan dan batang daun sagu yang ditopang dengan 12 buah tiang.


Keunikan lainnya terdapat pada struktur bangunan yang terlihat miring dari samping. Kemiringan tersebut terlihat pada bagian kubah yang tidak simetris dengan bentuk masjid. Arsitektur Masjid Wapaue dibuat dari kayu tanpa menggunakan paku. Kondisi ini membuat bangunan masjid mudah dilepas pasang.


Manuskrip Al-Qur’an
Pengunjung semakin dibuat berdecak kagum lantaran di dalam rak lemari kaca masjid ini tersimpan manuskrip kuno mushaf Al-Qur’an. Menurut catatan sejarah, mushaf kuno itu selesai ditulis Muhammad Arikulapessy pada tahun 1550.

 

"Al-Qur’an tersebut ditulis oleh Imam Muhammad Arikulapessy menggunakan tinta dari campuran getah pohon dan pena urat enau. Konon mushaf Al-Qur’an ini termasuk tertua di negeri ini," ungkap tetua adat masyarakat setempat.


Mushaf Al-Qur’an yang konon termasuk tertua di Indonesia itu dibuat tanpa iluminasi hiasan pinggiran halaman. Mushaf lainnya adalah Mushaf Nur Cahya yang selesai ditulis 1590 juga tanpa hiasan pinggir dan ditulis tangan pada kertas buatan Eropa.

 

Menurut tetua adat setempat, kedua penulis mushaf tersebut adalah imam-imam Masjid Wapaue. Imam Muhammad Arikulapessy adalah imam pertama, sementara Imam Nur Cahya adalah cucunya.

 

Selain Al-Quran, karya Imam Nur Cahya lainnya adalah tulisan tangan yang memuat seluruh isi Kitab maulid al-Barzanzi sebagaimana ditulis Imam Ja’far bin Hasan al-Barzanji, penulis kitab termasyhur berisi puji-pujian kepada Nabi Muhammad saw tersebut.

 

Di dalam Masjid Wapaue juga menyimpan timbangan zakat fitrah yang terbuat dari kayu dengan pemberat dari kerang laut. Timbangan tersebut dilengkapi dengan anak timbangan seberat 2,5 kilogram yang terbuat dari campuran batu dan kapur. Di masa lampau, satu anak timbangan sama dengan satu zakat.

 

Pantauan NU Online, Masjid Wapaue terletak di daerah penuh artefak sejarah. Sekira 150 meter dari masjid ke arah utara, persisnya di tepi jalan raya, terdapat gereja tua yang merupakan peninggalan Portugis dan Belanda yang hancur lantaran konflik bernuansa SARA di Ambon pada 1999 silam.

 

Bangunan tua lainnya terletak 50 meter dari gereja tersebut, yaitu benteng Amsterdam. Bangunan peninggalan Belanda ini awalnya merupakan loji Portugis. Benteng yang terletak di bibir pantai menjadi saksi bisu sejarah perlawanan para pejuang Tanah Hitu dalam Perang Wawane (1634-1643) dan Perang Kapahaha (1643-1646).