Diktis

Pembinaan Santri Waria di Pesantren Al-Fatah Yogyakarta

Selasa, 2 Juli 2019 | 23:00 WIB

Pembinaan Santri Waria di Pesantren Al-Fatah Yogyakarta

Para santri di Pesantren Al-Fath tengah berdoa usai shalat (foto: hipwee)

Pondok Pesantren Al-Fatah adalah salah satu pondok pesantren yang khusus menampung kaum waria. Pesantren Al-Fatah berlokasi di Banguntapan, Bantul, Yogyakarta. Pemilik sekaligus pengasuh pada yayasan ini adalah Shinta Ratri. Sementara jumlah santri waria yang menjadi santri di pesantren itu adalah 40 orang.
 
Fakta ini terungkap setelah dilakukan Pelatihan Membaca Al-Qur’an Berbasis Nilai-nilai Humanis pada Santri Waria di Pondok Pesantren Al-Fatah Banguntapan Bantul Yogyakarta oleh Nuraini dan Rohmat Dwi Yunianta tahun 2018. Keduanya merupakan dosen di Intitut Ilmu Qur’an (IIQ) An-Nur Yogyakarta. Pelatihan dilakukan dalam rangka program Pengabdian Kepada Masyarakat Terintegrasi Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Dit PTKI), Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama (Kemenag) RI.
 
Puluhan waria yang dilatih mayoritas berprofesi sebagai pengamen (15 orang) sisanya ada yang fokus mengembangkan Lembaga Swadaya Masyarakat (4 orang), pekerja seks komersil (8 orang), dan pekerja sektor wirawsasta (13 orang). Dari segi usia, santri yang setiap hari dibina untuk kembali normal itu rata-rata berumur 45 tahun. Sementara untuk pendidikan terakhir mereka beragam. Ada yang hanya lulus SD, ada juga yang lulus perguruan tinggi. Namun, SMA masih menjadi mayoritas pada santri waria di Yogyakarta itu.
 
Di Pesantren Al-Fatah ini, para santri waria menerima pelajaran membaca Al-Qur’an, praktik ibadah, Asmau Husna, dan akhlak. Namun, karena terbatasnya sarana-prasarana, transportasi dan pendidik, baik dari aspek kualitas maupun kuantitas, pembelajaran di pondok pesantren ini baru pada tahap ritual dan rutinitas dan belum tampak hasil yang memuaskan.
 
Oleh karena itu, peneliti melihat perlu adanya langkah konkret yang harus segera dilakukan agar proses pembelajaran membaca Al-Qur’an lebih optimal. Menurut peneliti, upaya itu setidaknya dilakukan dengan melatih dan menyediakan buku ajar yang mudah dipahami, memberikan edukasi pentingnya bersikap humanis agar para santri waria dapat hidup normal sebagaimana manusia pada umumnya.
 
Kemudian, memberikan bimbingan cara ibadah, zikir, dan mujahadah yang benar. Lalu memberikan bimbingan akhlak Islam, serta menjauhkan santri waria dari sikap dan perilaku radikal.
 
Hasil penelusuran sebelumnya, permasalah utama yang dihadapi oleh santri waria yakni kurangnya sumber daya manusia untuk membimbing pembelajaran baca Al-Qur’an, kurangnya pengayaan materi yang berbasis kemanusiaan. Kemudian, kurangnya pemahaman tentang nila-nilai kemanusiaan dan sulitnya akses para waria untuk memeroleh pendidikan agama.
 
Atas dasar itu pula Kementerian Agama kemudian tergerak untuk memberikan pelatihan membaca Al-Qu’ran berbasis nilai-nilai humanis kepada santri waria di Pondok Pesantren Al-Fatah Banguntapan, Bantul, Yogyakarta. Tujuannya tentu agar seluruh santri dapat meningkatkan kemampuan dalam membaca al-Qur’an serta memahami nilai-nilai kemanusian. Sehingga, para waria mampu mengenali diri dan hidup saling berdampingan antar sesama manusia.
 
Peneliti telah memberikan pelatihan membaca Al-Qur’an kepada kaum waria menggunakan buku Insaniy, salah satu buku ajar membaca Al-Qur'an berbasis nilai-nilai humanis ditulis oleh H Munjahid.
 
Buku tersebut memuat materi-materi pokok membaca Al-Qur'an secara mudah dan praktis yang meliputi makharij al-huruf (tempat-tempat keluarnya huruf hijaiyah), nama-nama syakal (tanda baca), merangkai huruf, memanjangkan atau memendekkan bacaan, teori dan praktik tajwid (ilmu cara membaca Al-Qur’an dengan benar).
 
Kemudian, dalam buku itu juga dimasukkan teori dan praktik nilai-nilai humanis dalam kehidupan sehari-hari, dan akhlak Islami. Buku itu dilengkapi dengan alat evaluasi berupa soal-soal disertai kunci jawaban pada bagian akhir buku, serta sejumlah bahan diskusi dengan tema-tema sosial-keagamaan. Pelatihan tersebut dilakukan peneliti berlangsung selama tujuh minggu dengan rincian tujuh kali pertemuan. (Abdul Rahman Ahdori/Kendi Setiawan)