Fragmen

40 Tahun Wafat KH Bisri Syansuri (1): Masa Kecil dan Menuntut Ilmu

Sabtu, 25 April 2020 | 15:22 WIB

Pada tanggal 25 April 1980, tokoh NU KH Bisri Syansuri wafat pada usia 94 tahun. Dengan demikian, tahun ini 40 tahun sudah salah seorang pendiri NU itu tiada. Saat wafat, ia masih Rais Aam PBNU, merupakan rais aam ketiga setelah Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Chasbullah. Sebagaimana rais-rais aam sebelumnya, waktu itu dieemban hingga wafatnya.

Kiai Bisri merupakan putra dari Kiai Sansyuri. Jadi nama belakanganya adalah nama ayahnya sebagai Asy’ari pada Kiai Hasyim dan Chasbullah pada Kiai Wahab. Ada beberapa penulisan nama Syansuri di beberapa buku. Ensiklopedia NU, misalnya menulis KH Bisri Syamsuri. Sementara KH Abdurrahman Wahid menuliskannya Syansuri di buku  dan Abdussalam Shohib juga sama Syansuri. Dengan demikian dalam tulisan ini akan menggunakan Syansuri.

Kiai Bisri lahir di Pati, Jawa Tengah pada Jumat 5 Dzulhijjah 1304 H atau bertepatan dengan 18 September 1886 M. Ia merupakan anak ketiga dari pasangan dari Kiai Syansuri dan Siti Mariah. Keduanya, mendidik Bisri kecil dengan pendidikan agama yang ketat, yang menurut Gus Dur, khas pesisir pantai utara karena akar dari penyebaran Islam di Indonesia melalui jalur pelayaran.

Suasana kampung santri mendukung pembentukan karakter yang akan menjadi fondasi yang kuat saat ia menjadi ulama besar di kemudian hari. Menurut Gus Dur, karakter semacam itu berakar dari akar Islam pantai utara yang menyuplai ahli agama ke daerah pedalaman.

Selepas mendapatkan pendidikan dari kedua orang tuanya, Bisri belajar kepada ulama masyhur di daerahnya, yakni Kiai Abdus Salam di Kajen-Margoyoso. Di pesantren Kiai Abdus Salam, Kiai Bisri belajar ilmu dasar-dasar bahasa Arab, tafsir AL-Qur’an serta kumpulan hadits Nabu yang berukuran kecil dan sedang.

Menurut Gus Dur, Kiai Abdus Salam menerapkan pola kehidupan beragama dengan sangat keras dengan peraturan-peraturannyadan berjalur tunggal moralitas dan akhlaknya. Hal inilah yang kemudian membentuk Kiai Bisri hingga akhir hayatnya, yang menurut Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj sebagai kiai yang ketat dalam berfiqih.

Pada usia 15 tahun, Kiai Bisri melanjutkan pendidikannya kepada kiai kenamaan di Madura, yakni Syaikhona Cholil Bangkalan. Di pesantren tersebut ia lebih memperdalam lagi ilmu fiqih, tasawuf, hingga tarekat. Di pondok pesantren ini pula Kiai Bisri bertemu dengan santri Kiai Wahab Chasbullah. Keduanya berteman karib hingga masa tuanya. Selain karena sama-sama mendirikan sebuah organisasi, juga menjadi saudara ipar. Menurut Gus Dur, sebelum ke Madura, Kiai Bisri pernah menuntut ilmu ke Kiai Syua’ib dan Kiai Khalil, dua-duanya di Rembang, Jawa Tengah.

Selepas dari Madura, Kiai Biri melanjutkan pencarian ilmunya kepada Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari di Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Ia di berguru di pesantren tersebut selama 6 tahun. Di pesantren tersebut, kembali Kiai Bisri bertemu dengan temannya, yakni Kiai Wahab. bertemu juga dengan santri lain yang kelak menjadi kiai besa seperti Kiai Abdul Manaf, pendiri Lirboyo, Kiai As’ad Syamsul Arifin Situbondo, Ahmad Baidhawi Banyumas, Abdul Karim Sedayu Gresik, dan lain-lain. Menurut Gus Dur, teman-temanya itu merupakan santri yang di kemudian hari menjadi barisan fiqih.

Kemudian, setelah dididik Hadratussyekh Kiai Bisri menuntut ilmu ke Tanah Suci Makkah bersama Kiai Wahab. di sana mereka belajar kepada Syekh Muhammad Baqir, Syekh Muhammad Said Yamani, Syekh Ibrahim Madani, Syekh Jamal Maliki.

Selain itu, keduanya berguru kepada guru-guru sang guru (Kiai Hasyim) yakni KH Ahmad Khatib Padang, Syekh Syu’aib Daghastani, KH Mahfudz Tremas.

Penulis: Abdullah Alawi
Editor: Fathoni Ahmad