Fragmen

Al-Alam Marunda, Masjid 'Pitung' Abad Ke-17 di Pesisir Jakarta

Kamis, 28 Oktober 2021 | 05:15 WIB

Al-Alam Marunda, Masjid 'Pitung' Abad Ke-17 di Pesisir Jakarta

Masjid Al-Alam Marunda, Cilincing, Jakarta Utara. (Foto: NU Online)

Salah satu dari sekian banyak masjid-masjid bersejarah di pesisir Jakarta adalah Masjid Al-Alam Marunda. Masjid ini beralamat di Jalan Marunda Kelapa Nomor 1, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. Terletak tak jauh dari pantai Jakarta.


Begitu pengunjung hendak masuk kawasan masjid, terdapat sebuah gapura yang bertuliskan kedua kalimat syahadat dalam bahasa Arab dan nama Masjid Al-Alam Marunda yang di kedua sisinya terdapat kaligrafi lafadz Allah dan Muhammad.


Bangunan utama masjid tak begitu luas, lebih kurang hanya seluas 12x12 meter persegi, ditambah dengan bangunan baru untuk tempat sholat perempuan yang hanya seluas lebih kurang 4x8 meter persegi. 


Di sebelah barat masjid (diukur dari tempat pengimaman), terdapat beberapa makam. Ada dua makam keramat. Yaitu makam Kiai Jamiin bin Abdullah dan makam Syeikh Abdul Halim bin Hayyi Yahya. Di sebelah Barat Daya adalah rumah pitung. Kira-kira jika ditarik garis lurus hanya sejauh 150 meter.


Di sebelah Timur masjid,terdapat sebuah pendopo untuk peristirahatan para pengunjung. Tak jauh dari pendopo, terdapat sebuah sumur yang banyak orang bilang kalau sumur itu memiliki 3 rasa yaitu, asin,manis dan tawar.


Di sebelah selatan –selingkup gapura masjid-, terdapat halaman yang cukup luas, sedangkan di sebelah selatan luaran gapura masjid terdapat beberapa rumah warga. Di sebelah utara masjid atau di belakang pendopo adalah laut dan hutan mangrove.


Bisa dibilang bahwa memang bukanlah hal yang asing terkait beragam versi mengenai sejarah. Sejarah tentang apapun. Bisa diambil contoh seperti Sejarah datangnya Islam di Nusantara,misalkan. Banyak para tokoh yang berbeda pandangan tentang awal mula masuknya Islam di Nusantara. Ada yang mengatakan Islam masuk ke Nusantara dari Arab,ada yang berteori dari India,ada yang meyakini dari Persia,dan seterusnya. Rasanya aneh memang, bila membicarakan sejarah hanya terkungkung pada satu versi saja. Sudah menjadi satu ketetapan bagi sejarah untuk seperti itu.


Begitu pun sejarah berdirinya Masjid Al-Alam Marunda. Menurut Kartum Setiawan dan Adityo B. Hardoyo, penulis buku Masjid-masjid Bersejarah di Jakarta, ada dua versi yang popular di masyarakat sekitar terkait sejarah berdirinya Masjid Al-Alam. Versi pertama ada hubungannya dengan penyerangan Fatahillah ke Sunda Kelapa tahun 1527. Versi kedua,masjid Al-Alam dibangun oleh pasukan Mataram pada abad ke-17.


Salah seorang tokoh setempat bercerita, bahwa masjid Al-Alam itu dibangun oleh pasukan Mataram untuk dijadikan tempat persinggahan. “Masjid ini dibangun oleh pasukan Mataram untuk dijadikan tempat persinggahan,yang pada saat itu Mataram berada dibawah pimpinan Sultan Agung,” urai Habib Agus, pengurus Masjid Al-Alam Marunda.


Memang benar,kalau kita melihat SK Gubernur DKI Jakarta, yang menetapkan Masjid Al-Alam sebagai Bangunan Cagar Budaya, yang terpampang pada salah satu bagian tembok masjid,di situ tertulis bahwa masjid Al-Alam Marunda dibangun pada abad 17 oleh pasukan Mataram ketika menyerbu Batavia (1628-1629). 


Ia juga mengatakan bahwa salah satu kedatangan pasukan Mataram adalah untuk menyebarkan agama Islam ke tanah Betawi. “Kedatangan pasukan Mataram ke tanah Betawi/Sunda Kelapa itu dalam rangka membantu menyiarkan agama Islam,” jelas Habib Agus.


“Dalam pasukan Mataram juga ada ulama-ulamanya,diantaranya Syeikh Nurul Ahmad Nur Muhammad dan Habib Abdul Halim bin Hayyi Yahya,” imbuh habib yang memilik marga Al-Khon itu.


Asal Mula Nama Al-Alam

Masjid yang lebih dikenal dengan nama Masjid Al-Alam Pitung ini juga memiliki cerita terkait asal mula namanya. Bahkan masyarakat dari luar Marunda memberi nama khusus pada masjid Al-Alam. Diantaranya Masjid Al-Alam Pitung dan Masjid Pitung. Karena memang lokasi masjid tak begitu jauh dari lokasi “rumah” Pitung. Selain itu juga menurut cerita masyarakat setempat,biasanya saat Pitung sedang diburon oleh kompeni,salah satu tempat persembunyiannya adalah Masjid tersebut.


“Dikasih nama Masjid Si Pitung mah sama orang-orang luar Marunda,ya mungkin memang karena ga begitu jauh juga (lokasi masjid dari rumah Pitung),” tutur alumnus Pondok Pesantren Kempek tersebut.


Nama Al-Alam disematkan hanya baru beberapa dekade,tepat saat ditetapkan masjid tersebut sebagai bangunan cagar budaya tahun 1972 oleh Gubernur DKI Jakarta saat itu,Pak Ali Sadikin. “Dulu (namanya) bukan Al-Alam, tapi Masjid Agung Al-Auliya`. Dikasih nama Al-Auliya` juga kesepakatan bareng-bareng (masyrakat sekitar masjid) karena ada andil para wali (saat pembangunan). Nah, tahun 1972 oleh Gubernur DKI Jakarta,Pak Ali Sadikin,disahin (ditetapkan) jadi cagar budaya,terus diubah (namanya) jadi Al-Alam,begitu,” papar Habib yang mengisi pengajian Kitab Riyadhul Badi`ah setiap Ahad pagi di Masjid Al-Alam itu.


Habib Agus Al-Khon berbeda dengan kebanyakan orang. Kebanyakan orang mengamini bahwa pembangunan masjid itu hanya berlangsung satu malam saja, walaupun cerita tentang pembangunan masjid yang berlangsung hanya satu malam itu hanyalah cerita turun temurun. “Pembangunan Cuma semalem itu cuma fiktif,” angkal beliau dengan tidak memberikan alasan.


Terlepas dari perbedaan keyakinan diatas, Masjid Al-Alam memiliki dampak yang cukup baik bagi masyarakat sekitar. Terutama di bidang ekonomi. Terbukti dengan banyaknya para pedagang di sekitaran masjid.


Sumur Tiga Rasa

Sebagaimana yang telah dipaparkan oleh penulis di bagian awal tulisan,bahwa terdapat sebuah sumur di lingkup masjid Al-Alam Marunda.


Kita tahu,dahulu sebelum menggunakan kran,orang-orang yang ingin berwudhu,kalau tidak di kali atau sungai, pasti di sumur. Oleh karenanya banyak orang-orang dulu membuat sumur di sekitaran masjid dan musolla agar tidak jauh-jauh mengambil air wudhu di sungai atau kali.


 

 

Ada satu cerita menarik dari sumur selingkup masjid Al-Alam. Konon menurut masyarakat setempat bahwa sumur itu memiliki tiga rasa,yaitu asin,manis dan tawar. “Sumur yang deket pendopo itu punya tiga rasa. Asin, manis sama tawar, ucap Pak Mamat, pemilik warung di sekitaran masjid.


Namun Habib Agus menjelaskan bahwa rasa sumur tersebut relatif sama denga sumur-sumur yang lain. “Rasa sumur mah sama, sama (sumur) yang laen. Yang bilang punya tiga rasa mah Cuma sugesti dia doang. Rasa mah sama aja (dengan sumur lain),” jelasnya.


Beliau juga memaparkan tentang sejarah sumur tersebut, umur sumur tesebut juga tidak selisih begitu jauh dengan penetapan masjid Al-Alam sebagai cagar budaya. “6 Agustus 1990, sumur itu dibikin sama masyarakat sekitar buat wudhu dan lainnya, emang dulu juga kan aer pam belom masuk ke Marunda. Dulu sebelom ada sumur orang-orang ngambil wudhu di seberang, yang sekarang jadi KBN (kalau ditarik garis lurus, kira-kira berjarak satu kilometer), jelas Habib Agus.


Kegiatan di Masjid Al-Alam Marunda


Setiap masjid pasti memiliki kegiatan-kegiatan rutinan. Begitupun dengan Masjid Al-Alam Marunda.


Tujuan penulis mencantumkan kegiatan rutinitas di masjid Al-Alam Marunda adalah agar para pembaca bisa tahu kegiatan rutinitas di Masjid Al-Alam Marunda.


Berikut adalah kegiatan-kegiatannya;


1. Bakda Ashar, Senin-Jumat,pengajian anak-anak

2. Setiap malam Jumat,dari Maghrib-Isya diadakan pembacaan tawasul,Yasin,Tahlil dan Rotib Al-Haddad

3. Ahad Shubuh,setelah sholat berjamaah,pengajian kitab kuning Riyadhul Badi`ah oleh Habib Agus Al-Khon

4. Pengajian Bulanan. Setiap Ahad pertama,Pengajian Kitab Riyadh Al-Sholihin oleh Habib Agus Al-Khon

5. Acara Tahunan. Acara-acara keagamaan yang menjadi tradisi setempat.


Syekh Nurul Ahmad Nur Muhammad dan Habib Abdul Halim bin Hayyi Yahya

Di dalam pasukan Mataram juga terdapat para ulama, diantaranya adalah Syeikh Nurul Ahmad Nur Muhammad dan Habib Abdul Halim bin Hayyi Yahya.


Di salah satu sudut sekitar kawasan Masjid Al-Alam ada salah satu tempat berbentuk rumah yang di dalamnya terdapat bangunan seperti makam. Yang mana sebenarnya itu bukan benar-benar makam tempat dikuburnya seseorang pada umumnya. Tempat itu hanyalah petilasan saja. Petilasan Habib Abdul Halim bin Hayyi Yahya. “Sebetulnya itu bukan makamnya (Habib Abdul Halim), makamnya di Baqi, Madinah sana. Di sini cuma petilasannya,” ujar Habib Agus.


Bahkan yang menginisiasi adanya petilasan Habib Abdul Halim di dekat masjid Al-Alam Marunda, dan memerintah untuk dibuatkan suatu bangunan seperti makam adalah Gus Dur, yang saat itu masih menjabat sebagai Presiden RI ke-4. “Dulu waktu Gus Dur jadi Presiden, beliau ngasih tau kalo di dekat masjid ada “makamnya” Habib Abdul Halim, akhirnya beliau memerintah orang-orang cabang (PCNU) Jakarta Utara, salah satunya ayah saya, Sayyid Rahmat Iman, supaya dibikin seperti makam,” cerita beliau.


Gus Dur mengumpamakan Habib Abdul Halim bin Hayyi Yahya itu seperti Amr bin Ash, Gubernur Mesir zaman pemerintahan Umar bin Khattab. “Habib Abdul Halim itu salah satu mata-matanya (intelijen) Mataram di bawah pimpinan Sultan Agung. Karena kecerdikan dan ketajaman berpikirnya, Gus Dur pernah bilang kalau Habib Abdul Halim itu ‘Amr bin ‘Ash-nya saat itu (di masa itu),” jelas Habib Agus.


Ulama yang ada dalam pasukan Mataram itu tak hanya Habib Abdul Halim, ada satu Ulama lagi yaitu Syeikh Nurul Ahmad Nur Muhammad. Ia adalah salah satu penggawa Cirebon yang diutus oleh Kesultanan Cirebon untuk membantu Mataram, di bawah jenderal Mataram, Tumenggung Bahurekso, menyebarkan agama Islam di Sunda Kelapa.


“Kalau Syeikh Nurul Ahmad Nur Muhammad itu dia orang Cirebon, salah satu Penggawa Cirebon. Dia diutus oleh kesultanan Cirebon untuk membantu Mataram yang dipimpin sama Bahurekso, Jenderal Mataram saat itu, untuk menyebarkan agama Islam di wilayah Sunda Kelapa.Ia wafat dan dimakamkan di Baqi juga, sama kaya Habib Abdul Halim,” ujar Habib Agus terkait Syeikh Nurul Ahmad.


M. Qurratul Ainul Chotib, mahasiswa program studi Sejarah Kebudayaan Islam Unusia Jakarta, tinggal di Cilincing Jakarta Utara