Fragmen

Gus Dur tentang Pengelolaan Lahan

NU Online  ·  Selasa, 19 Februari 2019 | 08:15 WIB

Berbicara tentang tanah yang terus menyempit, bumi tetep sama saja, tidak molor tidak mengkeret. Dalam suatu pengajian di Masjid Al-Munawwaroh Ciganjur Gus Dur pernah bercerita bahwa suatu saat orang Jepang datang kepada petani di Amerika yang memiliki lahan amat luas. 

Tamu dari Jepang ini diajak tuan rumah Amerika berjalan-jalan ke area pertaniannya yang luas. 

Si Jepang bertanya, "Berapa luas tanah pertanianmu ini?"

Petani Amerika ini menjawab sambil naik ke atas traktor, "Kalau saya naik dari ujung awal tanah pertanian ini dari pagi hari, maka kita akan sampai di ujung tanah saya, nanti sore hari."

Maka si Jepang pun tak mau tengsing atas pamer kekayaan tanah si tuan rumah. Dia menjawab, "Oh, kalo begitu sama, di Jepang juga kalo kita naik mobil dari rumah pagi hari, sampai kantor bisa sore hari."

Sementara si Petani Amerika menunjukkan luas tanahnya, sang Tamu Jepang memamerkan kemacetan di kotanya.

Kemudian Gus Dur melanjutkan ceritanya, "Maka demikian pun kita di Jawa. Tanah pertanian terus habis dan anak cucu tidak lagi memiliki tanah yang cukup untuk menghidupi keluarga bila terus dibagi dengan cara dibelah atau diiris. Sementara jumlah lahan tidak mengalami penambahan."

Orang Jepang, kata Gus Dur, "Memiliki cara tersendiri untuk mempertahankan agar lahan tanah pertanian mereka tetap cukup untuk menghidupi keluarga."

"Caranya adalah dengan membedakan antara hak waris dan hak kelola. Anak-anak tertua memiliki hak kelola dan sekaligus berkewajiban untuk membagi hasil pertanian dari lahan warisan orang tuanya secara adil kepada adik-adiknya yang bekerja di kota." 

"Dengan cara ini, anak-anak di kota tetap mendapatkan hasil dari tanah warisan orang tuanya tanpa mereka harus pulang ke desa untuk menjadi petani."

"Nah, barangkali kita di Indonesia bisa mengadopsi cara Jepang ini untuk mempertahankan luas lahan pertanian yang terus menyempit."

Lalu Gus Dur berbicara agak rumit bahwa merubah pemikiran masyarakat bukanlah pekerjaan mudah. Dibutuhkan banyak dukungan ilmiah, sosial dan mungkin perangkat kebijakan pemerintah. Semisal apakah bisa dalam hukum waris Islam membedakan antara hak kepemilikan dan hak pengelolaan?

Dan entahlah apakah tanah kita masih akan ada setelah sebegitu luasnya dibagi-bagi. (Syaifullah Amin)