Fragmen

Ketegangan NU dan Pemerintah Orde Baru soal Pancasila

Sabtu, 13 Juni 2020 | 12:20 WIB

Ketegangan NU dan Pemerintah Orde Baru soal Pancasila

Pancasila sekali waktu dapat menjadi alat gebuk pemerintah terhadap kelompok yang berseberangan dengan kebijakan pemerintah.

Hubungan Nahdlatul Ulama (NU) dan Pancasila berlangsung tanpa masalah. Tetapi hubungan NU dan pemerintah sekali waktu berlangsung dengan buruk. Hal ini terjadi pada suatu masa di mana pemerintah melakukan personifikasi dari Pancasila itu sendiri sehingga kelompok oposisi atau mereka yang melancarkan kritik terhadap pemerintah dapat dianggap sebagai kelompok anti-Pancasila.


Dapat dibilang, Pancasila sekali waktu dapat menjadi alat gebuk pemerintah terhadap kelompok yang berseberangan dengan kebijakan pemerintah. Padahal kritik dan perbedaan pandangan masyarakat terhadap pemerintah sebagai operator negara bukan barang luar biasa dalam negara berasas Pancasila.


Hal ini tampak ketika Presiden Suharto menyampaikan pidato tanpa teks di Balai Dang Merdu, Pekanbaru, Riau, pada 27 Maret 1980. Di sini ia menyerang NU tanpa menyebut nama (yang saat itu masuk fraksi PPP sebelum NU kembali ke Khittah pada 1984) sebagai lawan politiknya. Ia mengklaim sepihak bahwa NU merupakan ancaman terhadap negara hanya karena melakukan aksi “walk-out” dalam parlemen saat membahas P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) pada 1978.

 

P4 merupakan panduan tentang pengamalan Pancasila dalam kehidupan bernegara pada masa Orde Baru. Pemerintah mengharuskan terutama pegawai negeri dan aparat pemerintah pada umumnya untuk mengikuti pendidikan (zaman itu disebut "penataran") P4 yang memakan waktu berhari-hari. "Lamanya dua minggu dan tanpa pandang bulu. Kepala kantor, kepala bagian, kepala gudang, bagian umum maupun bagian khusus, tak ada kecualinya mesti mengikuti penataran." (Lihat Mahbub Djunaidi, Kolom Demi Kolom, [Jakarta, CV H Masagung: 1989], halaman 134).

 

Suharto menafsirkan secara berlebihan atas aksi “walk-out” tersebut. Suharto mengatakan:

“…. dua per tiga daripada anggota (MPR) dapat, jika mereka menghendaki, mengubah konstitusi. (Tetapi) ABRI tidak ingin mengubahnya, dan jika terjadi perubahan, menjadi tugasnya untuk menggunakan senjata… daripada menggunakan senjata dalam menghadapi perubahan UUD 1945 dan Pancasila, kami lebih baik menculik seorang dari dua per tiga anggota yang menghendaki perubahan, karena dua per tiga minus satu tidak sah menurut UUD 1945,” (Lihat David Jenkins, Suharto dan Barisan Jenderal Orba: Rezim Militer Indonesia 1975-1983, [Depok, Komunitas Bambu: 2010 M], halaman 211).

Suharto tidak mengisyaratkan partai mana yang dimaksud. Tetapi “Ia merujuk pada fraksi yang ‘walk-out’ ketika sidang MPR sedang membahas P4. Sekali lagi fraksi ini melakukan ‘walk-out’ ketika DPR sedang membahas tentang Undang-undang Pemilihan Umum. Karena PPP [Partai Persatuan Pembangunan] (atau lebih tepat lagi fraksi NU dari PPP) merupakan satu-satunya partai yang melakukan tindakan itu, maka tidak sulit untuk menebaknya.” (Jenkins, 2010: 212).


Suharto mengatakan dalam pidatonya, “Sebelum Orde Baru lahir, kita melihat dan merasakan ideologi nasional kita dimasuki oleh berbagai macam ideologi yang telah ada, apakah itu marxisme, leninisme, komunisme, sosialisme, marhaenisme, nasionalisme, atau agama.”


Pidato Suharto bukan hanya membangkitkan reaksi dari kalangan PPP atau NU, tetapi juga hampir semua kekuatan sosial-politik di Indonesia ketika itu dengan menyebut kelompok marhaen, nasionalis, atau agama. Oleh karenanya, pidato Suharto menuai kritik dan penolakan dari berbagai kelompok. Penafsiran tunggal pemerintah/Suharto atas Pancasila dikecam oleh berbagai kelompok melalui sebuah petisi terkenal yang ditandatangani 50 orang pada 5 Mei 1980 di Jakarta.


Sementara dalam halusinasi Suharto, agama dalam hal ini Islam adalah ancaman terhadap negara ketika itu. “Walk-out” adalah indikasi bahwa Islam dalam hal ini NU sebagai kekuatan terbesar PPP ketika itu merupakan bentuk pembangkangan terhadap Pancasila, dalam tafsir Suharto. “Islam (NU) ditengarai sebagai ancaman dan ABRI merupakan suatu kekuatan yang dapat menjaga Pancasila.” (Jenkins, 2010: 212).


Selain kritik pedas yang sangat populer dengan sebutan Petisi 50, yang juga patut dicatat dan tidak kalah penting dalam sejarah adalah kritik dari kalangan NU. “Chalid Mawardi, seorang politisi NU yang menjabat sebagai Wakil Sekjen PPP menyuarakan hal yang sama. Ia mengatakan bahwa bagi PPP, Pancasila dan Islam itu identik, keduanya tidak bertentangan, tetapi saling melengkapi.” (Jenkins, 2010: 218).


“Wakil Rais Aam PBNU KH Anwar Musaddad menyatakan bahwa aksi ‘walk-out’ yang dilakukan pada sidang MPR 1978 oleh fraksi PPP dan kelompok NU dalam sidang penerapan Undang-undang Pemilihan Umum semata-mata karena perbedaan pendapat yang dijamin oleh Pancasila dan UUD 1945. Ia (Kiai Anwar Musaddad) bertanya, ‘Apakah berdasar Pancasila semua orang harus menjadi yes-men?’” (Jenkins, 2010: 218).


Rais Aam PBNU (1984-1991) KH Ahmad Shiddiq mencoba memandang jernih perihal kemunculan kecurigaan pemerintah di satu sisi dan kalangan agama di sisi lain perihal dasar negara. Dalam sebuah wawancara yang dilakukan oleh Fahmi D Saifuddin selama 1983-1985, KH Ahmad Shiddiq mengatakan, “Hambatan-hambatan bagi upaya proporsionalisasi ini juga ada, yang berwujud hambatan psikologis, yaitu kecurigaan, kekhawatiran dari dua arah bersilangan: (a) ada kecurigaan/kekhawatiran bahwa Negara RI akan menjadi negara agama tertentu yang merugikan pemeluk agama lain. (b) ada kecurigaan/kekhawatiran bahwa Pancasila akan dijadikan semacam agama nasional, menggantikan (mendangkalkan jiwa) agama-agama.” (Lihat KH Ahmad Shiddiq, Islam, Pancasila, dan Ukhuwwah Islamiyyah, [Jakarta, Kesekjenan PBNU: 2017 M], halaman 19).


Menurut Kiai Ahmad Shiddiq, sesungguhnya dengan ditetapkannya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 dan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 (yang memberlakukan kembali UUD 1945) setelah beberapa waktu kita ber-Undang-Undang Dasar Sementara, kecurigaan dan kekhawatiran tersebut seharusnya sudah teratasi. Tetapi situasi, kondisi, dan permainan politik adakalanya memberikan kesempatan bagi kambuhnya lagi kecurigaan/kekhawatiran itu. (Lihat KH Ahmad Shiddiq, 2017 M: 19).


Penelaahan Kiai Ahmad Shiddiq dengan menyebut “situasi, kondisi, dan permainan politik” yang melahirkan “kecurigaan/kekhawatiran itu” boleh dibilang hampir sepenuhnya benar. Pidato Suharto pada 27 Maret 1980 di Pekanbaru yang meminta ABRI untuk melihat mana kawan dan mana lawan Pancasila memang diproyeksikan antara lain untuk kepentingan Pemilu 1982.


Ia menambahkan, kalau dalam agama saja ada larangan terhadap al-ghuluwwu fid din (berlebih-lebihan dalam menerapkan ajaran agama), tentu pantas sekali waktu kalau ada usaha pencegahan terhadap al-ghuluwwu fil Pancasila’. Lebih dari itu, sikap berlebih-lebihan identik dengan over acting. Dan itu tidak baik. (Lihat KH Ahmad Shiddiq, 2017 M: 20).


“Langkah utama ke arah kejernihan itu adalah kewajaran. Wajar dalam melihat sesuatu dan wajar bersikap terhadapnya, tidak berlebih-lebihan dan tidak berkekurangan. Kita lihat semua agama secara wajar (wadh‘un ilahiyyun) dan kita lihat Pancasila secara wajar pula (sebagai wadh‘un basyariyyun), kemudian kita letakkan pada tempatnya yang wajar, dan selanjutnya kita bersikap terhadap masing-masing secara wajar pula…Kita sering menjumpai adanya pendapat yang diatasnamakan Islam atau diatasnamakan Pancasila, tetapi kita bisa bertanya apakah pembawa pendapat itu layak untuk mencerminkan Islam atau mencerminkan Pancasila.” (Lihat KH Ahmad Shiddiq, 2017 M: 20).

 

NU dengan pandangan jernih dan sikap yang wajar (sebagaimana istilah KH Ahmad Shiddiq) kemudian mendeklarasikan asas tunggal Pancasila pada Forum Munas Alim-Ulama NU 1983 di Situbondo. Tanpa diduga oleh banyak pihak, NU yang dikenal sebagai kelompok "tradisional" menjadi kelompok sosial-politik pertama dalam sejarah negara modern bernama Indonesia yang menyatakan asas tunggal Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa menghadap-hadapkan Pancasila sebagai dasar negara dan Islam sebagai agama.


Penulis: Alhafiz Kurniawan

Editor: Abdullah Alawi