Fragmen

Muktamar NU 1962 (Bagian 1)

Rabu, 29 Januari 2020 | 10:00 WIB

Muktamar NU 1962 (Bagian 1)

Presiden Soekarno disambut KH Wahab Chasbullah pada Muktamar NU Sala 1962

Pada ujung tahun 1962, untuk kali kedua, Kota Sala dipilih sebagai tuan rumah penyelenggaraan Muktamar Nahdlatul Ulama (NU). Sebelumnya, pada tahun 1935, di Kota Bengawan juga pernah dihelat penyelenggaraan Muktamar NU yang kesepuluh.

Buku Petundjuk Mu’tamar ke-XXIII Partai Nahdlatul Ulama yang diterbitkan Sekretariat Panitia Muktamar ke 23 NU (1962), memberi banyak gambaran menarik terkait dinamika muktamar yang diadakan di tengah situasi politik di dalam negeri yang semakin hangat dengan adanya Kabinet Nasakom, juga masih dalam semangat Trikora (Tri Komando Rakyat).

Sebelumnya, telah dibentuk sebuah kepanitiaan yang memadukan para pengurus NU, baik dari pusat, wilayah (Jawa Tengah) dan wilayah Karesidenan Surakarta. Adapun susunan panitia sebagai berikut:
 
Pelindung:
1. KH Wahab Chasbullah (Rais Aam)
2. KH Idham Chalid (Ketua PBNU)

Penasihat:
1. KH Ma’ruf (Pengasuh Pesantren Jenengan/Rais Syuriah PCNU Surakarta)
2. KH Dimyati al-Karim (Madrasah Salafiyah Mangkunegaran/pernah menjadi Syuriah PBNU)
3. KH Ahmad Umar Abdul Mannan (Pengasuh
Pesantren Mangkuyudan)
4. KH Hilal (Rais Syuriah PCNU Sukoharjo), KH Imron Rosjadi (PBNU)
5. KH Jasin (Menantu KH Manshur Popongan/PCNU Surakarta)
6. KH Asy’ari (Tegalsari Laweyan/ PCNU Surakarta)

Supervisor:
1. KH Munir Abisudjak
2. Mursjidi Effendi
3. Nyai Hj Mahmudah Mawardi (Ketua PP Muslimat NU/ Asli Keprabon Solo)
4. Wirjosumarto
 
Ketua Umum: H Imam Sofwan (Ketua PWNU Jateng)
Ketua I: KH Muchtar Rosjidi (Ketua Tanfidziyah PCNU Surakarta)
 
Dan seterusnya..
***

Muktamar dilaksanakan di kompleks Dalem Kusumojudan (kini Kusuma Sahid Prince Hotel). Sedangkan acara resepsi pembukaan Mu’tamar digelar di Gedung Balai Kotapradja Surakarta.

Dalam sambutannya, Ketua Umum PBNU KH Idham Chalid menyitir salah satu kalimat orang Jawa alon-alon jen kelakon.
 
Menurutnya, di situasi politik era Demokrasi Terpimpin, kala itu, mesti hati-hati dalam mengambil sikap. Sebab, NU diibaratkan sebagai sebuah bangunan yang tidak didirikan untuk masa singkat, tetapi untuk jangka panjang.

"... Alon-alon bukan karena kemalasan dan kelambatan, tetapi karena kebidjaksanaan dan pertimbangan yang teliti. Alon-alon jang berarti tidak grusa-grusu. Tidak terburu-buru asal bertindak dengan tanpa perhitungan akal jang sehat. Alon-alon karena sadar bahwa jang akan dibangun bukan rumah dari bambu untuk menginap sementara, tetapi jangmendjadi tudjuan ialah gedong yang besar, kukuh, teguh, berangka besi beton jang tak lapuk karena hudjan, tak laju karena panasnja masa!

(Bersambung)
 
Penulis: Ajie Najmuddin
Editor: Abdullah Alawi