Fragmen

Peran NU Jelang Reformasi

Selasa, 17 Mei 2022 | 20:00 WIB

Peran NU Jelang Reformasi

Pertemuan para kiai itu menghasilkan keputusan agar Presiden Soeharto turun dari kursi kepresidenannya.

Presiden Kedua Indonesia, Soeharto berkuasa selama tak kurang dari 32 tahun sebelum akhirnya turun dari tahtanya pada 21 Mei 1998 dan lahirlah masa yang disebut sebagai Era Reformasi.


Situasi sosial politik di tahun-tahun menjelang lengsernya begitu panas. Hal itu tidak lain dipicu oleh ekonomi yang terus merosot, kenaikan harga berbagai barang, nilai mata uang yang anjlok, dugaan korupsi yang mengakar, hingga berbagai tindakan represif yang membuat suasana semakin tidak kondusif. Hal tersebut mengakibatkan krisis moneter sehingga menambah daftar kekacauan Negeri Zamrud Khatulistiwa itu.


24 tahun berlalu setelah kondisi yang rumit itu, tak banyak orang melihat peran serta Nahdlatul Ulama dalam mengupayakan terwujudnya Reformasi. Padahal, baik secara kultural maupun struktural, NU bergerak secara aktif dalam mewujudkan harapan bersama seluruh rakyat Indonesia itu.


Disebutkan dalam Ensiklopedia NU (2014), para kiai melakukan pertemuan khusus di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur yang diasuh oleh salah seorang kiai khos, yakni KH Abdullah Faqih. Pertemuan tersebut digelar pada Senin, 11 Mei 1998. Pada kesempatan itu, para kiai sepuh dari berbagai wilayah di Indonesia membicarakan mengenai situasi terakhir yang tengah berkembang di Indonesia. Tuntutan perubahan untuk menyelamatkan bangsa dari kehancuran menjadi topik serius yang mereka diskusikan.


Pertemuan para kiai itu menghasilkan keputusan agar Presiden Soeharto turun dari kursi kepresidenannya. Hasil pertemuan itu ditulis dalam sebuah surat resmi yang ditujukan kepada Soeharto. Pertemuan tersebut mengutus KH Abdul Muchit Muzadi dan KH Yusuf Muhammad. Keduanya berasal dari Jember, Jawa Timur.


Empat hari setelah itu, Jumat, 15 Mei 1998, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) saat itu, KH Abdurrahman Wahid atau yang dikenal Gus Dur didatangi Letjend Prabowo Subianto yang waktu itu menjabat sebagai Panglima Komando Strategi Angkatan Darat (Pangkostrad) sejak Maret 1998. Tidak tanggung-tanggun, ia datang pada pukul 02.00 WIB dinihari.


Sebelumnya, Gus Dur memang lantang berbicara mengenai Reformasi dalam berbagai forum. Bahkan, ia mengeluarkan siaran pers, menyampaikan agar Presiden Soeharto berkenan menjadi pandito, sosok yang dihormati tanpa memegang jabatan formal, sebagaimana ditulis Kevin O’Rourke dalam bukunya, Reformasi: The Struggle for Power in Post Soeharto Indonesia (2002: 119). Secara tidak langsung, Gus Dur meminta agar Soeharto turun dari kursi kepresidenannya.


Tidak berhenti di situ, Gus Dur juga berbicara secara langsung kepada Soeharto untuk turun dari jabatannya itu sebagai langkah awal reformasi secara total. Hal itu dilakukan bersama para tokoh lain dari kalangan Muslim pada 19 Mei 1998 sebagaimana ditulis Emha Ainun Najib atau yang lebih dikenal dengan sapaan Cak Nun dalam bukunya yang berjudul Saat-saat Terakhir Bersama Soeharto. Selain Gus Dur, pertemuan itu juga diikuti secara aktif oleh KH Alie Yafie yang saat itu menjabat sebagai ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Ilyas Ruhiat yang saat itu mengemban amanah sebagai Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Ma’ruf Amin, Ahmad Bagdja, Anwar Harjono yang merupakan tokoh Masyumi, Cendekiawan Nurcholis Madjid atau Cak Nur, Budayawan Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun, dan Malik Fajar dan Soetrisno Muhdam dari kalangan Muhammadiyah.


NU secara struktural mengikuti jejak para kiai khos yang menyatakan agar Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia. Hal tersebut disampaikan pada Sabtu, 16 Mei 1998. “NU membuat pernyataan yang menyerukan agar Soeharto lengser keprabon. Pernyataan ini dijawab oleh Jubir ABRI, Brigjen. Mokodongan dalam konferensi pers. Setelah itu, tokoh-tokoh NU dan tokoh dari organisasi lain mendatangi Soeharto untuk meminta mundur.”


Setelah dorongan yang sedemikian kuat dari NU dan berbagai lapisan masyarakat lainnya melalui berbagai cara, Soeharto pun akhirnya menyatakan sikapnya untuk mundur dari jabatannya sebagai presiden pada Kamis, 21 Mei 1998. “Soeharto mundur dari jabatan presiden. Wakil Presiden BJ Habibie melanjutkan setidaknya setahun dari sisa masa kepresidenannya sebelum kemudian digantikan oleh KH Abdurrahman Wahid pada tahun 1999.”


Lengsernya Soeharto menandai satu masa yang baru bagi Indonesia setelah melalui Era Orde Lama di bawah kepemimpinan Sukarno dan Orde Baru di bawah kekuasaan Soeharto, yakni Era Reformasi. Setelah 24 tahun, apakah Reformasi saat ini sudah sesuai dengan yang dicita-citakan?


Syakir NF, redaktur NU Online, alumnus Fakultas Islam Nusantara, Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta