Fragmen

Saat KH Hasyim Asy’ari Menentang Kebijakan Ordonansi Guru Kolonial Belanda

Jumat, 26 November 2021 | 17:00 WIB

Saat KH Hasyim Asy’ari Menentang Kebijakan Ordonansi Guru Kolonial Belanda

Hadlratussyekh KH Muhammad Hasyim Asy'ari. (Foto: NU Online)

Komitmen KH Hasyim Asy’ari dalam mencerdaskan kehidupan bangsa ia wujudkan dengan mendirikan pusat pembelajaran ilmu-ilmu agama yaitu pondok pesantren di daerah Tebuireng, Jombang pada tahun 1899.

 

Seketika pendidikan berbasis agama berkembang pesat di Indonesia. Hal ini menimbulkan resistensi Belanda. Kolonial menilai bahwa pendidikan berbasis agama yang dilakukan oleh para guru (kiai dan ulama) menjadi ancaman bagi eksistensi penjajah sehingga perlu diawasi dengan ketat.


Dari kegelisahan tersebut, Belanda berusaha melakukan pengawasan terhadap semua guru yang melakukan pengajaran melalui semacam sertifikasi dari pemerintah Hindia Belanda yang disebut Ordonansi Guru.

 

Dalam sistem ordonansi tersebut, semua guru (kiai, ulama) yang melakukan pembelajaran harus memiliki izin. Kebijakan Ordonansi Guru ini dikeluarkan oleh Belanda pada tahun 1905. (baca Choirul Anama, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 2010)


Di Pondok Pesantren Tebuireng yang didirikannya, KH Hasyim Asy’ari harus izin pemerintah setempat yang terafiliasi dengan pemerintah kolonial sebelum melakukan pengajaran. Kebijakan tersebut cukup menghambat syiar dari seorang guru agama yang selama ini berjalan dengan baik dan progresif walaupun tanpa administrasi yang sifatnya politis itu.


Menurut regulasi yang menyasar tanah Jawa dan Madura kala itu, seorang guru agama harus memiliki keterangan mengajar atau izin tertulis sebelum dia mengajar. Bukan hanya itu, tetapi setiap guru agama harus mengetahui daftar mata pelajaran dan nama murid-muridnya agar dapat dikontrol.


Kebijakan ini tentu saja menghambat praktik pembelajaran setiap harinya karena guru harus membuat perizinan yang prosesnya tidak mudah. Para guru agama saat itu melihat kebijakan ini sebagai upaya menghambat perkembangan pembelajaran agama. Apalagi Ordonansi Guru juga ditujukan oleh Belanda kepada tokoh agama dan para guru agama yang selama ini menentang pemerintahan kolonial.


Kalangan pesantren yang sejak dahulu berkembang pesat dalam proses pembelajaran agama menentang keras kebijakan Ordonansi Guru Hindia-Belanda. Meskipun Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) kala itu belum dideklarasikan, tetapi KH Hasyim Asy’ari dan para ulama pesantren getol mendorong penghapusan kebijakan tersebut.

 

Bersama sejumlah Ormas Islam yang lebih dulu lahir, ulama pesantren berhasil membuat Belanda memperlunak kebijakan Ordonansi Guru pada tahun 1925 yang isinya hanya mewajibkan guru-guru agama untuk memberitahu bukan meminta izin.


Namun, upaya melunakkan diri terhadap kebijakan tersebut justru dilakukan oleh Belanda untuk memperluas Ordonansi Guru dari hanya Jawa dan Madura ke berbagai daerah seperti Sumatera.

 

Dengan memperluas kebijakan tersebut, secara otomatis Belanda mendapatkan perlawanan lebih luas lagi. Selain Jawa dan Madura, Ordonansi Guru juga mendapat perlawanan di Sumatera sehingga akhirnya kebijakan ini gagal pada tahun 1928.


Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Muchlishon