Fragmen

Satu Abad Usmar Ismail, Tokoh NU Bapak Perfilman Indonesia

Sabtu, 20 Maret 2021 | 13:50 WIB

Satu Abad Usmar Ismail, Tokoh NU Bapak Perfilman Indonesia

Usmar Ismail. (Foto: dok. NU Online)

Khazanah perfilman Indonesia tidak bisa lepas dari tokoh Nahdlatul Ulama, yakni Usmar Ismail. Orang menyematkan gelar Bapak Perfilman Indonesia kepada sosoknya. Memang, ia sangat layak menyandang gelar tersebut. Pasalnya, perkembangan film Indonesia dirintis olehnya dengan pendirian Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini) pada 30 Maret 1950. Tanggal tersebut ditetapkan sebagai Hari Film Indonesia.


Darah dan Doa sebagai film garapan pertama Perfini dianggap sebagai sebuah film pertama besutan anak bangsa. Karyanya tersebut menjadi tonggak sejarah perfilman Indonesia sehingga tak aneh jika gelar tersebut disandangnya.


Daya imajinya memang sudah terlatih sejak dini. Kesukaannya pada sandiwara juga tumbuh sejak masa kecilnya. Saat orang lain menjalankan shalat tarawih, ia justru asik dengan tontonan filmnya.

 

Kegemarannya ini terbawa ke Padang, saat ia meneruskan studinya. Bahkan, ia semakin menyelam dalam dunia tersebut dengan aktif berlatih teater.


Dalam Ensiklopedia Nahdlatul Ulama Jilid 4 (2014, h. 199), diceritakan Usmar berhasil memerankan Mercurios, tokoh dalam mitologi Yunani. Ia mendapatkan banyak pujian dari para guru dan rekanannya.


Usmar merupakan putra bungsu dari seorang bangsawan asal Sumatera Barat, yakni Datuk Tumenggung Ismail dan Siti Fatimah. Ia lahir pada 20 Maret 1921. Ya, hari ini, Sabtu (20/3), merupakan satu abad kelahirannya.


Ia mendapatkan pendidikan formal yang baik. Ia mengawalinya dengan berstudi di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) tingkat dasar di Batu Sangkar, lalu melanjutkannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Simpang Haru, Padang, dan Algemeene Middelbare School (AMS) di Yogyakarta. Setelah itu, ia menempuh pendidikan tinggi di Amerika Serikat, tepatnya di Universitas California, Los Angeles.


Di Negeri Paman Sam itu, Usmar mengambil studi sinematografi. Hal tersebut membuatnya semakin kaya dengan pengetahuan dan pengalaman mengenai perfilman. Tak pelak, satu dekade selepas pendirian Perfini, karyanya merambah dunia internasional. Filmnya yang berjudul Perjuangan mendapat anugerah sebagai film terbaik dalam Festival Film Moskow 1961.


Sembilan Jasa Dwi Tunggal


Usmar Ismail mendirikan Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) bersama Asrul Sani dan Djamaluddin Malik. Usmar didapuk sebagai ketua pertamanya. Bersama nama terakhir itu, ia dikenal sebagai Dwi Tunggal Perfilman Indonesia. Pasalnya, Djamal juga mendirikan Perseroan Artis Indonesia (Persari).


Misbach Yusa Biran, Sutradara film asal Banten, dalam tulisannya Merenungkan Kembali Visi dan Langkah Besar Para Pelopor Perfilman dalam Mendorong Awal Perkembangan Industri Film Indonesia (1988) menyebut setidaknya ada sembilan jasa Dwi Tunggal bagi dunia perfilman Indonesia. (Lihat Ramadhan KH dan Nina Pane dalam Djamaluddin Malik Melekat di Hati Banyak Orang, 2006, h. 137-139).


1. membawa nama perfilman Indonesia ke forum Asia,

2. membentuk organisasi bagi produser Indonesia,

3. memimpin perjuangan melawan dominasi pemasaran film impor, terutama dari negara tetanggga,

4. menjadi ujung tombak untuk mengatasi dominasi pemasaran film India yang mendadak meledak pemasarannya di bioskop kelas C,

5. berhasil mendesak Sudiro selaku Walikota Jakarta untuk menentukan Wajib Putar Film Indonesia di bioskop kelas A kepada para pemilik bioskop, 

6. membidani terbentuknya organisasi Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) bersama Suryo Sumanto, 

7. berhasil menarik perhatian Pemerintah melalui aksi Tutup Studio karena pemasaran film Indonesia tertutup film India, 

8. tokoh penting dalam Badan dan Dewan yang dibentuk oleh Pemerintah, dan 

9. bisa menggiring Presiden untuk menunjuk Kementerian Penerangan sebagai Pemerintah yang membawahi perfilman.


Kebudayaan sebagai Jalan Dakwah


Usmar mengabdikan diri sebagai Ketua Lesbumi sejak pendiriannya pada 1962. Ia aktif di bawah bendera Nahdlatul Ulama. Bahkan, ia tercatat sebagai anggota parlemen mewakili NU yang kala itu masih menjadi partai. Ia dianggap sebagai musuh bagi kalangan seniman yang aktif dan bergabung di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Namun, posisinya yang kuat di NU membuat Usmar tidak gentar menghadapi berbagai upaya yang mengusiknya.


Keaktifannya dalam tubuh NU dengan latar belakang keluarganya yang agamis memberikan warna tersendiri dalam beberapa film yang dibuatnya. KH Saifuddin Zuhri yang kala itu menjadi Menteri Agama pernah secara khusus meminta pertimbangan kepadanya dan rekanannya di Lesbumi saat hendak membuat film haji berjudul Panggilan Tanah Sutji (1963).


Hal ini dilakukan Kiai Saifuddin sebagai bentuk perlawanan terhadap Lekra yang merupakan organisasi di bawah Partai Komunis Indonesia (PKI). Kebudayaan, termasuk film ini, menurut Sekretaris Jenderal PBNU era KH Idham Chalid itu, adalah cara untuk menghadapi PKI yang memiliki paham anti agama.


Lesbumi yang dibentuk juga merupakan jalan tengah di antara perseteruan Manifesto Politik yang diusung Lekra dan Manifes Kebudayaan yang digawangi Goenawan Mohamad dan kawan-kawan. Usmar dan kawan-kawannya mengusung nasionalisme religius.

 

Ia secara terang-terangan menentang pandangan ‘Politik adalah panglima’. Dalam Surat Kepercayaan, ia tegas menyatakan bahwa agama dan kebudayaan justru merupakan induk politik. Artinya, politik dilahirkan dari pemikiran agama dan kebudayaan.


Bagi Usmar, pengaruh film Amerika yang menimbulkan efek negatif, seperti cara bersolek dan berpakaian, bukan sekadar terlarang, tetapi juga haram hukumnya. Apalagi, jika film tersebut secara terang-terangan merusak moral akhlak. (Lihat Usmar Ismail dalam Seniman dalam Karyanya sebagaimana dikutip Choirotun Chisaan dalam Lesbumi: Strategi Politik Kebudayaan, 2008, h. 180).


Usmar wafat pada 2 Januari 1971 dalam usia yang relatif masih muda, 49 tahun. Dalam sambutannya pada pelepasan jenazah, KH Idham Chalid yang mewakili NU menyebut rekannya tersebut sebagai seniman dan budayawan Muslim yang menjadi ‘Juru Dakwah Islam’.


Untuk Usmar Ismail, Al-Fatihah!


Syakir NF, mahasiswa Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) dan Pengurus Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PP IPNU)