Internasional RAMADHAN DI LUAR NEGERI

Menikmati Takjil di Masjid Nabawi Madinah

Rabu, 23 Mei 2018 | 08:30 WIB

Menikmati Takjil di Masjid Nabawi Madinah

Jamaah Masjid Nabawi menikmati takjil, Senin (21/5)

Oleh KH MN Harisudin

Pada Ramadhan ini saya berkesempatan menjalankan ibadah umrah di tanah suci. Saya pun menikmati suasana Ramadhan dan berbuka puasa di sana.

Senin petang, 21 Mei 2018 atau hari kelima Ramadhan saya tengah berada di sekitar Masjid Nabawi, Madinah. Hari itu adalah hari kedua saya menikmati puasa di Madinah. Mendekati masjid, anak-anak berkulit hitam berperawakan Negro menarik-narik baju saya dan jamaah lain. 

Meski orang Afrika, anak-anak itu dilahirkan di kota Madinah. Kabarnya mereka digaji selama Ramadhan antara 1,5 juta hingga tiga juta rupiah. Mereka ini adalah sekian dari anak-anak Madinah yang lucu, ramah, dan menyenangkan. Tingkah dan keramahan mereka membuat para jamaah senang, selain tentu alasan gratis berbuka puasa.

Mereka membawa saya ke bagian tengah masjid tersebut. Puluhan ribu orang telah menyemut berjejer berhadap-hadapan. Lembaran plastik memanjang terletak di tengah-tengah jamaah. Jadilah jamaah seperti makan ala santri di pesantren di Indonesia. Hanya saja, menu takjil di dalam Masjid Nabawi adalah roti, kurma, kopi dan makanan ringan yang lain.  

(Baca: 170 Ribu BMI Semarakkan Ramadhan di Hong Kong)
Di luar Masjid Nabawi, menu makanan lebih variatif, termasuk nasi dengan ikan daging yang lezat.  Orang-orang menjadi kangen suasana buka puasa yang tentu saja hanya didapati di bulan suci Ramadhan.

Saya sempat berpikir bagaimana dengan kebersihan masjid setelah aktivitas berbuka puasa? Ternyata, lembaran plastik yang memanjang di tengah-tengah jamaah saat makan itulah solusinya. Seusai buka, dengan cekatan anak-anak yang tadi meminta kami bergabung berbuka puasa membersihkan sisa-sisa makanan dalam plastik panjang itu.

Usai menikmati takjil, para jamaah segera menunaikan shalat maghrib. Setelahnya, barulah saya dan rombongan memakan nasi di ruangan hotel. Waktu makan setelah maghrib agak panjang karena shalat isya sekitar jam sembilan malam waktu Saudi Arabia.

Waktu maghrib di Madinah tiba pada pukul 19.05 Waktu Saudi. Adapun waktu subuh di pukul 04.08. Dengan demikian, puasa di Madinah 16 jam atau dua jam lebih lama daripada waktu Indonesia.

Namun demikian, saya merasa beruntung bisa menikmati Ramadhan dan buka puasa di Madinah. Saya dapat bertemu dengan orang-orang dari Afrika, tepatnya Copi Town tempat Syeikh Yusuf al Makasari. Juga dengan orang India, Tunisia, Somalia, Afrika Selatan, Irak, Maroko, Aljazair, dan sebagainya.

Jika waktu memungkinkan untuk mengobrol, saya sempatkan mengobrol dengan mereka. Banyak dari mereka sudah tahu tentang Indonesia. Kami mengobrol baik memakai bahasa Inggris, Arab atau pun Perancis. 

Lebih dari itu, saya dan rombongan teringat hadits bahwa shalat di Masjid Nabawi pahalanya 1000 kali daripada shalat di masjid selain Nabawi. Adapun shalat di Masjidil Haram Makkah berpahala 100.000 kali dari shalat di masjid yang lain. Saya memaklumi mereka yang selalu rindu dapat menjalankan ibadah umrah di bulan Ramadhan.

Penulis adalah Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Lembaga Ta’lif wan Nasyr (LTN) Nahdlatul Ulama Jawa Timur.