Internasional

Prof Alwi Shihab: Islamofobia Lahir dari Sikap Inferior

Jumat, 5 Mei 2023 | 23:00 WIB

Prof Alwi Shihab: Islamofobia Lahir dari Sikap Inferior

Para peserta seminar internasional tentang Islamofobia di Masjid Istiqlal, Rabu (3/4/2023) kemarin. (Foto: NU Online/Rachmi)

Jakarta, NU Online
Salah satu faktor munculnya sentimen kebencian terhadap suatu kelompok tidak lain karena merasa rendah diri atau tidak percaya diri atas supremasi kelompok lainnya. Hal demikian pun terjadi ketika Islam mencapai puncak kejayaannya di abad pertengahan silam. Inilah awal mula Islamofobia sebelum peristiwa serangan 9/11 di Amerika Serikat.


Hal tersebut dikatakan intelektual muslim, Prof Alwi Shihab, saat didapuk menjadi narasumber pada seminar bertajuk Islamophobia and Antisemitism in The World yang digelar di Aula al-Fattah Masjid Istiqlal, Jakarta, Rabu (3/5/2023).


“Jadi sebenarnya Islamofobia sudah terjadi sejak ekspansi Turki ke Vienna. Lantas, seorang tokoh revolusi Kristen bernama Martin Luther merasa terpojok dengan serangan-serangan tersebut sehingga membangkitkan semangat orang Kristen Barat dengan cara menjelekkan Nabi Muhammad, Al-Qur’an, dan Islam untuk membendung ekspansi Islam di Eropa,” ungkapnya.


Sebagaimana diketahui bahwa 100 tahun setelah Nabi Muhammad saw wafat, Islam bak bara api yang menjalar ke tiga benua. Karena mampu menguasai beberapa daerah tiga kali lipat wilayah kekuasaan Roma Empire. Hal tersebut sangat fantastis mengingat ekspansi kekuasaan masuk hingga ke perbatasan India, Spanyol, Afrika Utara, dan hampir semua wilayah Timur Tengah.


Menurut sejarawan Robert Salten, lanjut Alwi, kebencian timbul disebabkan oleh sense of inferiority atau rasa keterpurukan juga rendah diri. Bersamaan dengan sikap inferior tersebut timbul kebencian walaupun kebencian tersebut tidak berdasar.


“Sebaliknya keunggulan akan melahirkan sense of objectifity and honesty (jiwa objektif dan jujur),” terang Menteri Luar Negeri era Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini.


Alwi menambahkan bahwa penaklukan wilayah secara besar-besaran tersebut memantik para tokoh Kristen untuk membendung kekuatan Islam yang terus-menerus mengekspansi wilayah kekuasaan Kekaisaran Romawi. Maka dapat disimpulkan bahwa Islamofobia mulai menonjol pada masa tersebut.


Kondisi itu berubah pada abad ke-18, di mana Eropa dan Barat berhasil menundukkan sebagian besar dari negara-negara Islam dan negara lainnya dengan misi yang sangat populer, yaitu kolonialisme dan imperialisme yang menandai kebangkitan mereka. Melalui kemenangan-kemenangan tersebut berlanjut dengan hadirnya konsili Vatikan.


“Konsili Vatikan kedua lah yang isi dari perjanjian tersebut mengajak umat Kristen melupakan masa lalu, mengajak untuk bekerja sama, dan mengajak berdamai dengan ahli kitab Yahudi dan Islam yang mana keduanya patut untuk dihargai,” tutur pengurus Institut Leimena tersebut.


Pria kelahiran Makassar itu mengatakan bahwa sama halnya di pihak Islam sendiri. Pada saat kekuatan Islam melemah, ada beberapa tokoh di dunia Islam yang berusaha mendiskreditkan Kristen.


“Ibnu Taimiyah adalah salah satu tokoh muslim yang mengarang sebuah kitab berjudul al-Jawab al-Shahih Liman Baddala Din al-Masih yang merupakan kitab berisi argumen-argumen yang menyatakan kesalahan orang yang menyelewengkan agama yang dibawa Nabi Isa,” ujar master lulusan Universitas al-Azhar Kairo, Mesir itu.


Karya tersebut hadir dilatarbelakangi oleh suasana perang Salib yang terjadi selama 200 tahun. Jika karya tersebut digunakan untuk memecah-belah antarumat beragama, maka sudah selayaknya karangan tersebut jangan dijadikan hujjah yang mendatangkan perpecahan.


Acara tersebut dihadiri oleh pelbagai delegasi kedutaan besar negara sahabat seperti kedutaan Uni Emirat Arab, Mesir, Turki, Bahrain, Pakistan, Qatar, Tunisia, Sudan, Republik Islam Iran, Aljazair, Yaman, Lebanon, Suriah, Maroko.


Kontributor: A Rachmi Fauziah
Editor: Musthofa Asrori