Internasional

Tak Hanya Dihiasi Musik Gnawa, Ini Ragam Tradisi Lebaran di Maroko

Kamis, 5 Mei 2022 | 16:00 WIB

Tak Hanya Dihiasi Musik Gnawa, Ini Ragam Tradisi Lebaran di Maroko

Salah satu sudut kota di Maroko

Jakarta, NU Online
Ada yang berbeda dari suasana perayaan Idul Fitri di Maroko tahun 2022. Berbeda dari dua tahun lalu yang biasanya usai shalat Idul Fitri komplek dan jalanan tampak sepi. Tahun ini, masyarakat Muslim Maroko mulai dari muda hingga orang tua, kembali bersukacita merayakan lebaran.  


Ketua Pengurus Cabang (PC) Fatayat Nahdlatul Ulama (NU) Maroko, Avika Afdiana Khumaedi mengatakan bahwa dalam perayaan Idul Fitri tahun ini, masyarakat Maroko khususnya di kota Tangier, kembali melakukan perayaan seperti berkeliling komplek dengan memainkan alat musik tradisional Gnawa atau semacam genjringan dengan membaca shalawat dan puji-pujian.


“Tahun ini setelah vakum dua tahun dari kehidupan pasca pandemi, para pemuda hingga yang tua mereka memberikan perayaan kecil di kota Tangier,” kata Avika saat dihubungi NU Online pada Kamis (5/5/2022).


Tak hanya itu, ternyata Maroko juga memiliki kesamaan tradisi dalam menyambut lebaran dengan Indonesia, salah satunya mudik. Avika menuturkan, masyarakat di sana memadati sejumlah layanan transportasi umum untuk kembali ke kampung halaman.


“Terlihat beberapa stasiun kereta dan terminal bus yang terlihat dipadati oleh pemudik dari kota seperti dari kota Rabat, Casablanka, dan Fes untuk ke kampung halaman,” tutur Mahasiswa Pascasarjana Universitas Mohammed V Rabat Maroko itu.


Kendati demikian, terdapat juga beberapa perbedaan tradisi lainnya seperti menu hidangan, hingga aktivitas usai shalat ied.


Avika mengatakan, negara dengan mayoritas penduduk Muslim ini memiliki tradisi perayaan Idul Fitri yang berbeda dengan Indonesia. Dari segi hidangan, menu Indonesia didominasi oleh makanan bersantan. Sedangkan di Maroko, relatif diisi oleh roti-rotian, daging panggang, dan makanan berbahan dasar kacang.


“Seperti macam-macam kue kering yang bervariasi. Ya, kalau di Indonesia seperti nastar dan dan sebagainya. Nah, disini, kue-kue kering itu sebagai hidangan, dengan roti harcha, baghrir, khubs dar, bugget atau khumir yang campurkan dengan keju, madu, atau amlu,” ungkap Avika.


Waktu konsumsinya pun terbalik. Avika menjelaskan, di Maroko baru akan mengonsumsi makanan besar di siang hari daripada di pagi usai shalat ied.


“Di Maroko, siang hari sampai sore baru makan makanan berat seperti daging dan ayam, kita kenal "kambing atau sapi, dan ayam" yang dipanggang dan dikasih buah barquq dan ditaburi wijen di atasnya,” jelasnya.


Usai 'ronde satu dan dua' yang diisi oleh makanan ringan dan daging panggang, Avika mengatakan biasanya orang Maroko akan melanjutkannya dengan makan buah-buahan, lalu diakhiri dengan kue kering dan teh.


“Dan ronde keempat adalah kue-kue kering dan teh hangat seperti teh mint atau teh naknak, teh yaiba, atau teh luwiszah,” papar alumni Pondok Pesantren Al-Hikmah 2 Benda tersebut.


Selain berbeda dalam menu lebaran, Avika menyebut bahwa di Maroko tidak ada tradisi khusus seperti halal bi halal, ziarah hari terakhir Ramadhan atau setelah shalat Ied, maupun ’ngambeng’ atau makan bersama seperti di Indonesia.


“Masyarakat (Maroko) dalam merayakan Idul Fitri lebih individu. Sangat jarang sekali kita temui antar tetangga saling berkunjung kecuali memang ada ikatan keluarga, karena mereka lebih memeriahkannya dengan antar sanak keluarga saja,” pungkasnya.


Kontributor: Nuriel Shiami Indiraphasa
Editor: Muhammad Faizin