Lingkungan

Pesantren Darul Yatamah Minta Masyarakat Semakin Ramah Lingkungan

Ahad, 26 Mei 2019 | 13:15 WIB

Pesantren Darul Yatamah Minta Masyarakat Semakin Ramah Lingkungan

Pimpinan Pesantren Darul Yatamah, Kalimantan Selatan, Ustadz Umailah (tengah)

Jakarta, NU Online
Sembilan hari sisa Ramadhan, Pimpinan Pesantren Darul Yatamah, Amuntai Tengah, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Provinsi Kalimantan Selatan, Ustadz Umailah, meminta kepada masyarakat semakin ramah lingkungan. Menurutnya, bulan  Ramadhan merupakan momentum tepat untuk menjalankan ajaran Rasulullah soal merawat lingkungan.
 
Ia mengungkapkan, hal itu bisa dilakukan masyarakat dengan tidak menebang pohon secara serampangan dan merusak alam dengan cara lain yang berdampak buruk terhadap kesehatan, seperti membakar lahan gambut.  
 
Hadist yang menerangkan larangan merusak alam sudah banyak disampaikan oleh para tokoh agama dalam setiap pertemuan. Misalnya, kata Ustadz Umailah, hadits yang diriwayatkan Abu Dawud, 'Barangsiapa yang menebang sebatang pohon sidr, Allah akan menundukan kepalanya di dalam neraka'.  
 
"Hadist yang diperoleh dari Abdullah bin Habasyi tersebut menurut saya kode keras agar umat islam jangan menebang pohon secara sembarangan. Sebab, akan memiliki dampak buruk bagi lingkungan, dan semua terbukti. Munculnya bencana alam di Indonesia tidak terlepas dari perilaku manusia yang tidak ramah terhadap lingkungan," kata Ustad Umailah, dihubungi NU Online dari Jakarta, Ahad (26/5).
 
Untuk itu, menurut ustad yang menjabat Kepala Madrasah Aliyah Darul Yatamah ini, manusia memiliki kewajiban menjaga lingkungan dan alam sekitar. Agar keadaan alam tetap sehat dan memberikan kemaslahatan untuk masyarakat banyak.
 
Selain itu, bagi masyarakat yang hidup di sekitaran kawasan gambut penting mengetahui apa itu gambut dan bagaimana cara mengelola yang baik dan benar. Jika tidak mengetahui tata cara pengelolaanya masyarakat bisa terjebak dengan budaya lama yakni mengelola gambut dengan membakar.
 
Padahal, mengelola dengan model seperti itu sangat berbahaya bagi lingkungan dan bisa berakibat fatal untuk masyarakat luas.
 
"Dampak dari lahan gambut itu kan mengakibatkan  bibit bibit atau tanaman lain ikut terbakar karena lahan gambut ini kan karena kedalamannya sangat jauh sekitar 10 meter atau 13 meter ke bawah, jadi api itu susah untuk dipadamkan. Karena api yang diatas padam kemungkinan yang dibawah belum padam," tuturnya.
 
Penegasan mengenai pengelolaan gambut agar tidak berdampak buruk bagi lingkungan juga terus dikampanyekan oleh Deputi Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan pada Badan Restorasi Gambut (BRG), Myrna A Safitri.
 
Menurutnya, pengelolaan zaman dulu dengan cara dibakar sudah tidak relevan dengan keadaan saat ini. Dulu, lahan gambut  keadaannya normal sementara kini lahan gambut tersebut kering kerontang dan sangat mudah terbakar.
 
Kebakaran lahan gambut terbesar sepanjang sejarah, lanjut Myrna, terjadi pada tahun 2015 lalu, Semua itu karena kesalahan pengelolaanya. Kerusakan alam terjadi juga disebabkan manusia yang keliru sehingga apa yang selama ini dilakukan tidak pernah merasa salah. Padahal, akibat dari memilih jalan keliru tersebut lah yang menyebabkan kebakaran hutan terjadi.
 
"Oleh karena itu kembali ke jalan yang benar dalam merawat gambut. Praktik yang dulu kita rubah. Dulu 10 tahun yang lalu gambut dibakar tidak apa apa karena lahannya basah, sekarang lahannya kering tidak boleh dibakar," kata Myrna beberapa waktu yang lalu.
 
Seperti diketahui, gambut merupakan hamparan yang terbentuk dari timbunan materi organik yang berasal dari sisa sisa pohon, rerumputan, lumut dan jasad hewan. Semuanya menumpuk sejak ribuan tahun hingga membentuk endapan yang tebal.
 
Tanah gambut di Indonesia berada  di Provinsi Riau, Provinsi Jambi, Provinsi Riau, Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi Sulawesi Selatan, dan Provinsi Papua.
 
Pada umumnya, gambut berada di area genangan air, seperti rawa, cekungan antara sungai maupun daerah pesisir. Gambut yang terbentuk diatas tanah liat atau lempung relatif lebih kayak mineral dibanding gambut diatas pasir. (Abdul Rahman Ahdori/Abdullah Alawi)