F-Buminu Sarbumusi: Negara Harus Akui Pekerja Migran sebagai Subjek dalam Gerakan Buruh
NU Online · Kamis, 1 Mei 2025 | 19:09 WIB

Ketua Umum PP Federasi Buruh Migran Nusantara Sarbumusi di Gedung PBNU, Jakarta, pada Kamis (1/5/2025). (Foto: dok. pribadi)
M Fathur Rohman
Kontributor
Jakarta, NU Online
Pada Peringatan Hari Buruh Internasional 2025, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Federasi Buruh Migran Nusantara (F-Buminu) Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi), Ali Nurdin, menegaskan bahwa pekerja migran harus menjadi bagian sentral dalam agenda perjuangan buruh nasional, bukan hanya dipinggirkan sebagai isu sektoral.
"Setiap 1 Mei, kita selalu menyuarakan hak-hak buruh, tapi sering kali yang dimaksud hanya buruh pabrik. Padahal jutaan pekerja migran Indonesia adalah buruh juga. Mereka juga berkeringat, menanggung risiko, dan menyumbang devisa negara. Kenapa mereka tidak pernah mendapat tempat yang pantas dalam narasi besar gerakan buruh? Negara harus mengakui pekerja migran sebagai subjek dalam gerakan buruh," kata Ali Nurdin kepada NU Online, pada Kamis (1/5/2025).
Pengangguran dan bonus demografi
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) awal 2025, angka pengangguran terbuka masih berada di kisaran 5,6 persen, dengan konsentrasi terbesar pada usia 20–35 tahun, masa produktif yang seharusnya menjadi tulang punggung ekonomi nasional.
Sementara itu, Indonesia tengah memasuki puncak bonus demografi, yang berarti mayoritas penduduk berada pada usia kerja. Namun tanpa strategi nasional yang kuat, bonus ini bisa menjadi beban.
"Ketika investasi asing tak kunjung masuk dan penciptaan lapangan kerja domestik stagnan, maka penempatan pekerja ke luar negeri bukan sekadar solusi sementara, tetapi harus menjadi prioritas strategis nasional," tegas Ali.
Legalitas pekerja migran
Ali merujuk Pasal 4 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, yang menyebut bahwa negara berkewajiban untuk memberikan perlindungan secara menyeluruh kepada pekerja migran Indonesia dari sebelum bekerja, selama bekerja, hingga setelah bekerja.
Menurut Ali, UU ini menegaskan bahwa pekerja migran bukan subjek pinggiran, melainkan warga negara yang harus mendapat jaminan konstitusional. Dalam Pasal 5 juga disebutkan bahwa pemerintah wajib meningkatkan kompetensi, pelindungan, dan kesejahteraan pekerja migran Indonesia.
Namun dalam praktiknya, menurut Ali Nurdin, tata kelola migrasi tenaga kerja masih terfragmentasi dan terlalu banyak aktor terlibat, yang justru menciptakan konflik kepentingan dan melemahkan perlindungan.
“Negara harus serius menata ulang sistem ini. Kita butuh lembaga tunggal, bukan lembaga administratif. BP2MI harus naik kelas menjadi KP2MI—Kementerian Pelindungan dan Penempatan Pekerja Migran Indonesia—dengan mandat lex spesialis dari hulu hingga hilir,” ujarnya.
Ali juga menekankan pentingnya mengubah cara pandang masyarakat terhadap pekerja migran. Dalam catatannya, banyak purna pekerja migran yang kini menjadi anggota DPRD, kepala desa, hingga kepala daerah. Hal ini menunjukkan bahwa bekerja di luar negeri bukanlah bentuk keterbelakangan, tetapi pilihan strategis untuk mobilitas sosial.
“Selama ini mereka (pekerja migran) distigma sebagai TKI yang tak berpendidikan. Padahal banyak yang justru punya jejaring internasional, kompetensi bahasa, dan pengalaman manajerial. Kita harus setarakan status bekerja di luar negeri dengan bekerja di dalam negeri. Sama-sama terhormat, sama-sama berhak atas jaminan,” tegasnya.
Jangan lupakan pekerja migran
Ali Nurdin mengingatkan bahwa Hari Buruh Internasional tidak boleh hanya dimonopoli oleh isu-isu industrial semata. Sebagai bagian dari angkatan kerja global, para pekerja migran menghadapi tantangan yang kompleks, mulai dari eksploitasi, perbudakan modern, hingga kekosongan perlindungan hukum di negara penempatan.
“Dalam forum internasional seperti ILO, pekerja migran selalu menjadi isu sentral. Tapi di dalam negeri, mereka masih dianggap pelengkap. Sudah saatnya kita ubah itu,” tegasnya.
Menurutnya, pekerja migran adalah wajah nyata dari buruh global. Mereka terjebak dalam sistem kerja lintas negara yang sarat eksploitasi dan diskriminasi. Namun jika dikelola secara profesional dan berbasis HAM, migrasi tenaga kerja bisa menjadi kekuatan ekonomi baru bagi Indonesia, sebagaimana yang dilakukan Filipina.
Saatnya pekerja migran jadi agenda nasional
Ali Nurdin mengajak seluruh serikat buruh dan elemen gerakan pekerja untuk menjadikan isu pekerja migran sebagai bagian dari perjuangan kolektif nasional.
Ia juga menyerukan kepada pemerintah untuk segera menginisiasi pembentukan KP2MI sebagai bentuk keseriusan dalam menjawab tantangan pengangguran dan perlindungan tenaga kerja lintas batas.
“Pekerja migran adalah buruh juga. Mereka bukan cadangan, bukan korban, bukan beban. Mereka adalah subjek perjuangan yang nyata. Kalau kita bicara Hari Buruh, kita wajib juga bicara mereka,” pungkasnya.
Terpopuler
1
Fantasi Sedarah, Psikiater Jelaskan Faktor Penyebab dan Penanganannya
2
Khutbah Jumat: Lima Ibadah Sosial yang Dirindukan Surga
3
Pergunu Buka Pendaftaran Beasiswa Kuliah di Universitas KH Abdul Chalim Tahun Ajaran 2025
4
Pakai Celana Dalam saat Ihram Wajib Bayar Dam
5
Kabar Duka: Ibrahim Sjarief, Suami Jurnalis Senior Najwa Shihab Meninggal Dunia
6
Ribuan Ojol Gelar Aksi, Ini Tuntutan Mereka ke Pemerintah dan Aplikator
Terkini
Lihat Semua