Nasional

Kendalikan Covid-19, Epidemiolog: Belajar dari Negara Lain dan Tegas

Rabu, 3 Februari 2021 | 07:00 WIB

Kendalikan Covid-19, Epidemiolog: Belajar dari Negara Lain dan Tegas

Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) dr Syahrizal Syarif . (Foto: Nu Online)

Jakarta, NU Online
Kasus aktif Covid-19 di Indonesia masih tidak bisa terkendali. Penanggulangan terhadap wabah yang dilakukan pemerintah Indonesia dengan berbagai skema, tak juga efektif untuk mencegah penularan Covid-19.


Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) dr Syahrizal Syarif membandingkan keberhasilan negara-negara lain dalam upaya mengatasi virus membahayakan ini. Ia meminta kepada pemerintah untuk belajar kepada banyak negara agar Covid-19 segera terkendali di negeri ini.  


"Saya pikir, pemerintah kita bisa lah belajar ke negara-negara lain soal penanggulangan dan pengendalian wabah ini. Singapura saja sudah bisa berhasil mengendalikan wabah," katanya, kepada NU Online, Selasa (2/2)..


Ia menjelaskan, Singapura telah berhasil mengendalikan Covid-19 sekalipun tetap tidak membolehkan kerumunan lebih dari lima orang. Sebelum wabah terkendali, pemerintah Singapura benar-benar tegas untuk menindak dan membubarkan kerumunan jika didapati lebih dari tiga orang.


“Di Indonesia yang kasus aktif Covid-19 masih fluktuatif dan belum bisa terkendali. Harusnya benar-benar tegas untuk melarang orang berkumpul lebih dari tiga orang. Saya kira (penegasan) itu kalau dijalankan betul-betul, Covid-19 di Indonesia seharusnya sudah bisa terkendali,” ungkapnya.


Syahrizal menambahkan, kasus Covid-19 di seluruh dunia saat ini sedang dalam keadaan menurun. Semula bisa mencapai 750 ribu kasus per hari di dunia. Namun saat ini hanya berkisar 500 ribu kasus per hari.


Penurunan angka kasus Covid-19 tersebut terjadi lantaran negara-negara besar dunia sudah mampu menangani dan mengendalikan wabah. Beberapa di antara negara penyumbang kasus Covid-19 terbesar seperti Amerika Serikat, India, Rusia, dan Turki saat ini sudah mengalami penurunan kasus aktif Covid-19.


“Lalu ada juga tiga negara besar penyumbang Covid-19 terbanyak di Eropa yang sudah berhasil mengendalikan wabah seperti Inggris, Italia, dan Jerman,” beber Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Bidang Kesehatan ini.


Ia lantas menjelaskan soal penurunan kasus di India. Awalnya, rata-rata per hari bisa mencapai 92 ribu orang per hari menjadi pasien Covid-19. Namun belakangan ini, kasusnya menurun, hanya sekira 12 ribu per hari saja.


“Secara jumlah keseluruhan, kasus Covid-19 di India sudah mencapai 10,7 juta,” bebernya.


Menurut Syahrizal, India adalah negara paling besar dengan jumlah persentase yang divaksin. Di sana, vaksinasi sudah terlebih dulu dimulai dibanding Indonesia. Sudah besar pula proporsi penduduk yang divaksin.


“Sebenarnya, faktor yang membuat negara-negara lain itu bisa mengendalikan wabah adalah karena ketat sekali. Setelah divaksin, angka kematian dan kasus aktif turun. Amerika juga begitu karena kasus turun dan vaksinasi sudah berjalan dengan baik di sana,” tegasnya.


Hal tersebut berbeda dengan Indonesia yang memiliki target 900 hingga satu juta vaksinasi per hari, tapi kenyataannya hanya 200-300 ribu per hari. Sebab pemberian vaksin di Indonesia terdapat persyaratan umur, 18-59 tahun.


Soal penanggulangan wabah Covid-19 di Indonesia yang hingga hari ini masih saja belum efektif, Syahrizal menegaskan kepada pemerintah agar tidak asal dalam membuat kebijakan. Karena yang terpenting, berbagai langkah itu diambil harus dengan tegas.


“Pemerintah jangan asal bikin kebijakan. Karena yang penting itu adalah ketegasan. Langkah-langkah itu harus tegas,” ujar Syahrizal.


Kebijakan semacam Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) harus dipastikan agar di lapangan, dijalankan dengan tegas. Menurut Syahrizal, hal yang harus dilakukan pemerintah selain merazia masker, harus juga melakukan razia kerumunan.


Sekalipun PPKM diberlakukan sejak 11 hingga 25 Januari 2021 lalu, tetapi Syahrizal mengaku kerap menemukan berbagai kerumunan yang terjadi di lapangan seperti di jalan-jalan atau di tempat makan atau restoran. Ia menilai pemerintah abai terhadap kerumunan.


“Petugas pemerintah harusnya tidak membolehkan kerumunan lebih dari tiga orang di mana pun, seperti di pinggir jalan dan restoran. (Pemerintah) tidak usah macem-macem lah, pokoknya kerumunan tidak lebih dari tiga orang saja. Itu luar biasa dampaknya,” terang Syahrizal.


“Jadi misalnya tidak boleh orang duduk di meja restoran sampai delapan orang. Kalau ada lima orang satu keluarga maka dua orang lainnya harus di meja lain. Maksimal tiga orang di satu meja,” sambungnya.


Oleh karena itu, ia pun mengamini pernyataan presiden bahwa PPKM sangat efektif. Sebab menurut Syahrizal, kunci pengendalian wabah Covid-19 bukan dengan cara membatasi pergerakan masyarakat, tetapi pemerintah harus tegas pada setiap kerumunan.


“Sebab yang paling berpengaruh menulari virus itu ada di setiap kerumunan,” ucapnya.


Sebelumnya, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo mengumumkan hasil evaluasi dari kebijakan PPKM pada 11-25 Januari 2021. Hal tersebut diumumkan saat ia memimpin rapat terbatas di Istana Negara Jakarta, pada Jumat (29/1) lalu.


“Saya ingin menyampaikan mengenai yang berkaitan dengan PPKM  tanggal 11 sampai 25 Januari. Kita harus ngomong apa adanya, ini tidak efektif,” kata Jokowi.


Jokowi juga menyatakan bahwa mobilitas yang dilakukan masyarakat masih tinggi, sehingga di beberapa provinsi di Pulau Jawa dan Bali, kasus Covid-19 tetap naik. Ia berencana akan mengajak sebanyak-banyaknya pakar epidemiologi untuk melakukan desain kebijakan agar benar-benar bisa lebih komprehensif.


“Sebenarnya esensi dari  PPKM ini kan membatasi mobilitas. Tetapi saya lihat di implementasinya ini kita tidak tegas dan konsisten. Ini hanya masalah implementasi, sehingga saya minta betul-betul turun ke lapangan. Ini memang harus kerja dengan sederhana tapi harus benar-benar ada di lapangan,” tegasnya.  


Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Muhammad Faizin