Nama kitab tasawuf yang ditulis oleh seorang ulama besar dan guru sufi bernama Syaikh Ahmad ibn Muhammad ibn Athaāillah as-Sakandari. Penulis dan kitabnya ini mendapat tempat istimewa di hati ulama dan warga NU.
<>
Pertama, kitab al-Hikam banyak diapresiasi, dikaji, dan diajarkan kepada santri di pesantren-pesantren yang berbasis NU. Hampir semua santri dan alumni-alumninya yang pernah belajar agama di pesantren berbasis NU, dipastikan tahu dan mengaji kitab al-Hikam. Kitab al-Hikam berisi aforisme-aforisme Ibnu Athaāillah yang mengajarkan banyak nasihat kepada pembacaya agar setiap waktu selalu dekat dengan Sang Pencipta, Allah Swt.
Kedua, Ibnu Athaāillah adalah tokoh penting dalam Thariqah Syadziliyah, yang dalam tradisi NU, thariqah ini termasuk salah satu dari Thariqah Muātabarah an-Nahdliyah. Apresiasi NU terhadap Ibnu Athaāillah dan kitabnya al-Hikam, bahkan menurut Abdurrahman Wahid (Gus Dur), telah mengispirasi lahirnya nama Nahdlatul Ulama.
Dalam berbagai kesempatan, Gus Dur sering menyatakan bahwa nama Nahdlatul Ulama diilhami oleh kalimat Ibnu Athaāillah yang berbunyi: āLatashkhab man la yunhidhuka ilallahi haaluhu wa laa yadulluka ilallahi maqooluhuā (Janganlah engkau jadikan sahabat atau guru orang yang amalnya tidak membangkitkan kamu kepada Allah).
Menurut Gus Dur, KH Hasyim Asyāari sering mengutip ungkapan itu. Kata 'yunhidu', artinya membangkitkan, dan yang bisa membangkitkan adalah seorang ulama, maka lahirlah Nahdlatul Ulama. Usulan kata 'Ulama' memang dari banyak kiai, tapi yang merangkum menjadi kata-kata Nahdlatul Ulama itu adalah KH Muhammad Hasyim Asyāari.
Ibnu Athaāillah lahir di Iskandariah (Mesir) pada 648 H/1250 M, dan meninggal di Kairo pada 1309 M. Julukan Al-Iskandari atau As-Sakandari merujuk kota kelahirannya itu.
Al-Hikam bukanlah satu-satunya karya Ibnu Athaāillah, sebab sang syaikh termasuk sangat produktif menulis, yang meliputi bidang tafsir, fiqih, tasawuf, hadis, ushul fiqih. Namun, di antara karya-karyanya itu, al-Hikam adalah karya yang paling terkenal, dan bahkan dianggap sebagai magnumopus Ibnu Athaāillah.
Kitab al-Hikam banyak dibaca oleh tidak hanya yang bermadzhab Sunni, tapi juga telah melintasi sekat-sekat ideologi madzhab, thariqah (baca tarekat), dan juga lintas agama atau non-muslim dari kalangan orientalis. Selain itu, kitab Al-Hikam telah pula di-syarh oleh sejumlah ulama generasi berikutnya, seperti Muhammad bin Ibrahim ibn Ibad ar-Rasyid-Rundi, Syaikh Ahmad Zarruq, Ahmad ibn Ajiba, dan Abu Al-Wafaā al-Ghanimi at-Taftazani.
Karakteristik pemikiran Ibnu Athaāillah, terutama dalam bidang tasawuf merupakan kebalikan dari ulama terkenal Ibnu Taymiyah, yang memang hidup sezaman. Jika Ibnu Taymiyah menolak dan tidak memberikan tempat bagi pengamalan ajaran tasawuf, Ibnu Athaāillah sebaliknya, yaitu mengajarkan ajaran dan pengamalan tasawuf, sebab menurutnya tasawuf tidaklah negatif sebagaimana dikonsepsikan oleh Ibnu Taymiyah.
Terbukti, dalam kitab al-Hikam, ajaran-ajaran tasawuf yang diajarkan oleh Ibnu Athaāillah menyandarkan langsung pada Al-Qurāan dan hadits. Ibnu Athaāillah dikenal sebagai guru atau syaikh ketiga dalam lingkungan tarekat Syadzili setelah pendirinya Abu al-Hasan asy-Syadzili dan penerusnya, Abu al-Abbas al-Mursi. Ibnu Atha'illah-lah yang pertama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa, dan biografi keduanya, sehingga khazanah tarikat Syadziliyah tetap terpelihara hingga masa sekarang. (Ensiklopedi NU)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat HUT Ke-80 RI: 3 Pilar Islami dalam Mewujudkan Indonesia Maju
2
5 Poin Maklumat PCNU Pati Jelang Aksi 13 Agustus 2025 Esok
3
Khutbah Jumat: Kemerdekaan Sejati Lahir dari Keadilan Para Pemimpin
4
Kantor Bupati Pati Dipenuhi 14 Ribu Kardus Air Mineral, Demo Tak Ditunggangi Pihak Manapun
5
Ketua PBNU Sebut Demo di Pati sebagai Pembangkangan Sipil, Rakyat Sudah Mengerti Politik
6
Khutbah Jumat: Refleksi Kemerdekaan, Perbaikan Spiritual dan Sosial Menuju Indonesia Emas 2045
Terkini
Lihat Semua