Nasional PERINGATAN DARURAT

Konstitusi Dikebiri, DPD RI Minta DPR Tunda Paripurna, Dengarkan Suara Rakyat

Kamis, 22 Agustus 2024 | 10:00 WIB

Konstitusi Dikebiri, DPD RI Minta DPR Tunda Paripurna, Dengarkan Suara Rakyat

Anggota DPD RI asal DI Yogyakarta, Hilmy Muhammad. (Foto: dpd.go.id)

Jakarta, NU Online

Senator Indonesia asal Daerah Istimewa Yogyakarta, Hilmy Muhammad, meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menunda pelaksanaan rapat Paripurna dan mendengarkan lebih banyak suara rakyat yang hari ini masih terus bergema.


Hal ini untuk menyikapi hasil rapat Badan Legislatif (Baleg) DPR RI yang menganulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Nomor 70/PUU-XXII/2024, pada Rabu (21/08/2024). Utamanya terkait ambang batas (threshold) syarat pencalonan kepala daerah oleh partai politik berdasarkan perolehan kursi dan suara sah hasil Pemilu Anggota DPRD, dan batas usia syarat usia pencalonan kepala daerah dihitung sejak penetapan pasangan calon oleh KPU.


Putusan rapat Baleg DPR tersebut menimbulkan berbagai kekecewaan, kecaman, dan penolakan dari berbagai pihak. Hilmy Muhammad meminta DPR RI tidak terburu-buru membuat keputusan. DPR sebagai perwakilan rakyat, menurutnya harus mendengarkan suara rakyat demi menjaga kewarasan demokrasi bagi bangsa Indonesia.


“Banyak pihak yang kecewa dan menolak, ini harus menjadi alasan bagi DPR untuk menunda atau tidak terburu-buru untuk membuat keputusan. Mari dengarkan lebih banyak suara rakyat. Keputusan ini harus hati-hati betul, kalau dipaksakan akan menimbulkan masalah-masalah baru dan bahkan kemungkinan sampai pada mendelegitimasi hasil pilkada,” kata Hilmy tersebut melalui keterangannya, Kamis (22/08/2024).


Preseden buruk

Selain itu, menurut dia, perkara ini akan menjadi preseden buruk bagi pemerintahan di tingkat yang lebih bawah. Menurutnya, kekacauan ini memberi contoh bagaimana mengutak-atik aturan seenaknya.


Pria yang akrab disapa Gus Hilmy itu mengatakan, sebagai lembaga negara perlu ditampilkan keteladanan sebagai negarawan di tingkat nasional. Semangatnya bukan menjaga dan memelihara konstitusi buatan sendiri, tapi malah mengacaukan dan mengacak-acak. Ini menjadi keprihatinan luar biasa karena kemungkinan ditiru dan ngajari eksekutif dan legislatif di tingkat daerah untuk ngakali kebijakan dengan bertameng pada peraturan.


"Ini sungguh perilaku yang menyedihkan karena menunjukkan demokrasi kita yang tidak semakin maju, tapi malah semakin mundur. Pembajakan demokrasi dan pelanggaran konstitusi dipertontonkan demi mengamankan kekuasaan,” ujar Katib Syuriyah PBNU itu.


Ketidakpastian hukum

Kekacauan ini, menurut Gus Hilmy, jelas akan berimbas pada proses pencalonan kepala daerah. Penyelenggara akan bingung sementara para parpol sebagai peserta pilkada juga bingung aturan mana yang harus dipakai.


Menurutnya, di lapangan akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang dapat berujung banyaknya gugatan sengketa proses pilkada maupun gugatan terhadap hasil pilkada nantinya. Ini jelas tidak baik bagi untuk perkembangan demokrasi ke depan.


“Kami berharap KPU tidak hanya menyenangkan para politisi, tetapi harus berani mengambil sikap yang benar. Jika tidak, Pilkada rawan chaos karena proses pencalonan tak sesuai putusan MK. Bisa jadi KPU menggunakan putusan MK, tapi parpol menggugat dengan dalih UU yang diputuskan hari ini,” ungkap Gus Hilmy.


Lebih lanjut, Gus Hilmy berharap partai politik bisa bersaing lebih sehat dan menjunjung tinggi nilai demokrasi. Lebih mengutamakan kader yang sudah dididik daripada yang karbitan.


“Parpol itu kan memiliki sistem pendidikan yang tertata, memiliki kader yang sudah ditempa. Kami berharap mereka bisa bersaing secara demokratis dan dengan nalar yang sehat. Hindari mengorbitkan calon karbitan dengan mengubah aturan dan menghalalkan semua cara,” tandas Gus Hilmy.