Nasional PERINGATAN DARURAT

Soal UU Pilkada, Pakar: Putusan MK Harus Didahulukan

Rabu, 21 Agustus 2024 | 17:15 WIB

Soal UU Pilkada, Pakar: Putusan MK Harus Didahulukan

Ilustrasi Gedung Mahkamah Konstitusi. (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (20/8/2024) tentang ambang batas (threshold) pencalonan pemilihan kepala daerah (pilkada) dan batas usia calon gubernur dan calon wali kota/calon bupati mendapat resistensi dari Panitia Kerja (Panja) Revisi Undang-Undang Pilkada yang digelar Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Rabu (21/8/2024).


Baleg DPR menyepakati untuk merujuk ke Putusan Mahkamah Agung (MA) soal batas usia 30 tahun untuk calon gubernur dan calon wakil gubernur serta 25 tahun untuk calon wali kota dan calon wakil wali kota.


Jika DPR tetap merujuk ke Putusan MA, lalu bagaimana dengan status Putusan MK yang bersifat final dan mengikat?


Pakar Hukum Tata Negara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Muhtar Said tidak memungkiri bahwa masalah yang terjadi merupakan sengkarut antara dua lembaga tinggi negara, dan sama-sama yudisial.


"Maka dari itu, ada perdebatan bahwa yang harus diikuti adalah putusan MK. Karena ada asas yang mengatakan bahwa Undang-Undang yang baru mengesampingkan Undang-Undang yang lama. Mengesampingkan itu bukan mematikan," ujar Muhtar Said saat dihubungi NU Online, Rabu (21/8/2024).


"Jadi Putusan MA itu lebih dulu daripada Putusan MK. Maka seharusnya MK yang didahulukan. UU (yang diputuskan) MK mengesampingkan UU (yang diputuskan) MA, itu seharusnya begitu," imbuhnya.


Muhtar Said juga merespons Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang tidak bisa langsung menjalankan Putusan MK karena berpengaruh langsung terhadap tahapan Pilkada.


"Memang putusan MK itu final dan mengikat, tetapi di Undang-Undang Pemilu mengatakan bahwa terkait tahapan, KPU wajib berkonsultasi dengan DPR RI sebelum terjadinya rancangan Peraturan KPU (PKPU)," katanya.


Sebab menurut Muhtar Said, putusan MK secara langsung mengubah PKPU. Untuk dapat mengubahnya, KPU harus konsultasi dengan DPR, sebagaimana yang terdapat di Undang-Undang Pemilu.


"Jadi KPU berkonsultasi dengan DPR itu terkait kewajiban yang diamanatkan Undang-Undang," tegasnya.


Rapat Baleg DPR

Mayoritas fraksi di Baleg DPR RI menyepakati untuk merujuk pada Putusan MA mengenai syarat batas usia cagub/cawagub dan cawalkot/cawawalkot.


"Merujuk ke MA, mayoritas (setuju), keliahtan pada setuju (ke putusan MA)," kata Wakil Ketua Baleg Achmad Baidowi dikutip dari Youtube Baleg DPR RI


Berikut bunyi catatan rapat Baleg:

"Disetujui menjadi DIM perubahan substansi. Disetujui panja dengan rumusan: Berusia paling rendah 30 tahun untuk Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur serta 25 untuk Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, dan Calon Wali Kota dan Calon Wakil Wali Kota, terhitung sejak pelantikan pasangan terpilih."


Sementara Putusan MK menyatakan bahwa batas usia minimal cagub-cawagub adalah 30 tahun dan cawalkot-cawalkot 25 tahun. Hakim Konstitusi Saldi Isra menjelaskan bahwa persyaratan usia minimum, harus dipenuhi calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah ketika mendaftarkan diri sebagai calon.


"Titik atau batas untuk menentukan usia minimum dimaksud dilakukan pada proses pencalonan yang bermuara pada penetapan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah,” kata Saldi Isra, di Ruang Sidang Pleno MK, Selasa (20/8/2024) dikutip dari laman resmi MKRI.


Putusan MK tersebut menolak gugatan yang dijelaskan pada Pasal 7 ayat 2 huruf e UU Pilkada yang mengatur tentang syarat usia untuk pencalonan gubernur, wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan wali kota/wakil wali kota.


Bunyi huruf e dalam pasal tersebut yaitu: "Berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur serta 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota".


"Segala persyaratan yang harus dipenuhi pada tahapan pencalonan harus tuntas ketika ditetapkan sebagai calon dan harus selesai sebelum penyelenggaraan tahapan pemilihan berikutnya,” tegas Saldi Isra.


Hanya akomodasi Parpol tanpa kursi, Parpol parlemen tetap 20 persen


Panja revisi Undang-Undang Pilkada juga menyepakati penyesuaian besaran ambang batas pencalonan kepala daerah oleh parpol non-parlemen. Hal ini merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 60/PUU-XXII/2024 pada Selasa (20/8/2024) lalu.


Wakil Ketua Baleg DPR RI sekaligus pimpinan rapat panja Achmad Baidowi mengatakan, perubahan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) dilakukan untuk mengadopsi putusan MK tentang ambang batas pencalonan kepala daerah.


Mengutip tayangan Youtube Baleg DPR RIBaidowi menerangkan, putusan MK memberikan ruang kepada parpol non-parlemen untuk mengusung calon kepala daerah. Dalam rapat, Tim Ahli Baleg DPR, Widodo, menyampaikan sejumlah perubahan dalam revisi UU Pilkada, salah satunya merevisi Pasal 40 UU Pilkada.


Widodo menjelaskan, revisi tersebut memuat, parpol atau gabungan parpol yang memiliki kursi di DPRD dapat mendaftarkan calon kepala daerah, jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPRD atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.


Sementara itu, partai politik (parpol) atau gabungan parpol yang tidak memiliki kursi bisa mengusung calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 6,5 persen-10 persen. Persentase perolehan suara berbeda setiap wilayah, tergantung jumlah pemilih di provinsi yang bersangkutan.