Nasional

Pakar Sebut Putusan MK Jadi Cermin Bobroknya Sistem Pemilu, Tapi Elite DPR Malah Gaduh

NU Online  ·  Ahad, 6 Juli 2025 | 22:00 WIB

Pakar Sebut Putusan MK Jadi Cermin Bobroknya Sistem Pemilu, Tapi Elite DPR Malah Gaduh

Gambar hanya sebagai ilustrasi berita. (Foto: freepik)

Jakarta, NU Online

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pemilu nasional dari pemilu lokal memicu kegaduhan di kalangan partai politik dan elite Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).


Sejumlah pakar hukum tata negara mengingatkan bahwa tantangan terbesar bukan semata pada teknis pemisahan jadwal, melainkan perlunya perbaikan menyeluruh terhadap sistem kepemiluan Indonesia.


Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar menyebut, putusan MK perlu dibaca sebagai cerminan bobroknya tata kelola pemilu, bukan sekadar solusi memisahkan pemilu presiden dan legislatif nasional dari pemilu kepala daerah dan DPRD.


"Kalau kita berharap putusan ini menyelesaikan semua persoalan pemilu, itu keliru. Tapi ini sinyal kuat bahwa sistem kita sudah tidak sehat," ujar Zainal dalam diskusi publik yang digelar secara daring oleh Constitutional and Administrative Law Society, pada Ahad (6/7/2025).


Menurutnya, pemilu serentak 2024 yang memuat lima kotak suara dalam satu hari justru memicu krisis kelelahan, membebani penyelenggara, dan menghilangkan ruang kampanye yang mendalam.


"Kita ini seperti memaksakan demokrasi jalan tol, cepat, tapi banyak yang tertabrak," katanya.


Zainal juga mengkritik elite politik yang hanya sibuk memperdebatkan soal perpanjangan masa jabatan kepala daerah pascaputusan MK.


"Problem kepemiluan kita bukan cuma tentang siapa diperpanjang atau tidak. Ini kesempatan emas untuk mengevaluasi seluruh sistem dari partai politik, sistem kandidasi, sampai logistik dan penyelenggara," tegasnya.


Ia menegaskan bahwa perbaikan tata kelola pemilu tidak bisa hanya diserahkan pada ‘manajemen transisi’, tetapi harus menjadi agenda legislasi yang serius dalam 2,5 tahun ke depan.


"Kalau DPR dan pemerintah hanya sibuk mengatur siapa yang jadi kepala daerah sementara, ini bukan perbaikan demokrasi, tapi transaksi kekuasaan," katanya.


Menurut Zainal, putusan MK ini bukanlah jawaban akhir, melainkan awal untuk perbaikan sistem pemilu.


"Putusan ini bukan jawaban akhir, tapi pintu awal. Tinggal kita, mau masuk dan memperbaiki, atau terus gaduh dengan niat membajak," terangnya.


Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Feri Amsari menilai keresahan atau kegaduhan elite DPR terhadap putusan MK patut dicurigai.


"Agenda mereka bukan soal keserentakan, tapi ingin kembali ke pemilihan tidak langsung. Ada keinginan kuat mengembalikan pemilihan kepala daerah oleh DPRD," ujarnya.


Feri menilai putusan MK ini menyelamatkan demokrasi konstitusional dan menjadi benteng terakhir menghadapi manuver elite.


"Pemilu langsung itu amanat reformasi. Kalau semua elite koalisi penguasa sepakat menariknya ke DPRD, maka putusan ini menjadi benteng terakhir," katanya.


Ia juga menilai argumentasi DPR yang menuduh MK melampaui kewenangan sebagai positive legislator tidak tepat.


“MK sudah ratusan kali menegaskan norma baru saat pembentuk undang-undang abai. Ini sah dan wajar secara konstitusional,” jelasnya.


Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara dari STH Jentera Bivitri Susanti menilai respons berlebihan parlemen menunjukkan ketakutan politik.


"Kenapa DPR seperti kebakaran jenggot? Karena selama ini mereka terbiasa memakai pemilu serentak untuk kepentingan ekonomi-politik," ungkapnya.


Ia juga mengkritik wacana melemahkan MK melalui amandemen UUD sebagai bentuk balas dendam politik.


"Kalau KPK dibunuh lewat revisi UU, MK bisa menyusul lewat revisi konstitusi. Itu preseden buruk bagi demokrasi," kata Bivitri.


Menurutnya, keberadaan MK justru penting untuk menjaga agar kekuasaan legislatif dan eksekutif tidak bersifat absolut.


"Demokrasi itu harus ada koreksi. Kalau MK dilemahkan hanya karena tidak menyenangkan elite, maka negara hukum runtuh," tegasnya.