Nasional

Para Akademisi Nilai Industri Ekstraktif Belum Beri Kesejahteraan, Pemerintah Didorong Ubah Paradigma soal SDA

NU Online  ·  Kamis, 19 Juni 2025 | 15:04 WIB

Para Akademisi Nilai Industri Ekstraktif Belum Beri Kesejahteraan, Pemerintah Didorong Ubah Paradigma soal SDA

Ilustrasi industri ekstraktif (Foto: Freepik)

Jakarta, NU Online 
Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, menilai paradigma pengelolaan sumber daya alam (SDA) di Indonesia perlu diubah agar benar-benar memberikan kemakmuran bagi rakyat. Selama ini, SDA dinilai hanya menguntungkan pengusaha dan penguasa.


Ia menegaskan hasil tambang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat sebagaimana amanat konstitusi.


"Jangan seperti sekarang yang diuntungkan hanya pengusaha dan penguasa, sementara rakyatnya miskin. Ini ironis,” kata Fahmy kepada NU Online, Selasa (17/6/2025).


Fahmy menekankan, meski Indonesia memiliki SDA yang melimpah dan beragam kekayaan alam, itu tidak boleh dijadikan andalan utama. Sebab, hampir tidak ada negara maju yang bergantung kepada SDA untuk membangun perekonomiannya. 


Namun, menurutnya, kekayaan alam tetap harus dikelola secara baik agar tidak mubazir dengan batas-batas yang jelas dari negara. Industri ekstraktif tetap bisa dimanfaatkan, tetapi dengan paradigma baru yang memprioritaskan kepentingan rakyat serta menjaga lingkungan hidup.


"Tambang pasti merusak lingkungan, tapi harus diupayakan agar dampaknya diminimalkan. Harus ada aturan ketat, misalnya kewajiban reklamasi yang benar-benar dijalankan," ujar Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Komunikasi Publik periode 2017-2019 itu.


Ia menyayangkan masih banyak perusahaan yang tidak menjalankan reklamasi dan dibiarkan oleh pemerintah. "Tidak seperti sekarang banyak perusahaan tidak melakukan reklamasi, tetapi dibiarkan juga oleh pemerintah," jelasnya. 


Fahmy menolak keras keberadaan tambang di kawasan wisata strategis seperti Raja Ampat yang diakui UNESCO. "Kalau Raja Ampat sudah ditetapkan sebagai destinasi wisata, maka tidak boleh satu pun tambang yang beroperasi di situ,” tegasnya.


Ia mencontohkan daerah Morowali sebagai wilayah tambang dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi tetap memiliki angka kemiskinan yang tinggi. Ini menunjukkan bahwa masyarakat setempat tidak merasakan manfaat nyata dari kegiatan ekstraktif.


"Artinya, mereka tidak diuntungkan dengan tambang yang ada," tutur Fahmy.


Menurutnya, solusi dari permasalahan ini adalah dengan mendorong hilirisasi tambang yang tujuannya untuk menaikkan nilai tambah dan menciptakan industrialisasi. 


Produk hasil tambang dan turunannya seharusnya diproses lebih lanjut menjadi bahan baku atau komponen industri seperti mobil listrik di tanah air. Dengan begitu, diharapkan mampu membuka lapangan kerja dan mendorong Indonesia menjadi negara maju.


"Kalau itu bisa dilakukan, maka hilirisasi yang sesungguhnya akan membuka lapangan pekerjaan dalam jumlah besar,” ujarnya. 


Fahmi juga mengkritik praktik saat ini yang masih berupa “smelterisasi” bijih nikel yang hanya diproses sedikit lalu diekspor ke China. Lalu diimpor kembali oleh Indonesia dalam bentuk barang jadi yang lebih mahal.


Belum ada dampak signifikan 

Sementara itu, Peneliti Senior Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP) Akmaludin Rachim menyatakan bahwa tata kelola industri ekstraktif Indonesia perlu dikaji ulang. Menurutnya, ketergantungan yang terlalu besar terhadap sektor ini justru berisiko terhadap keberlanjutan ekonomi dan lingkungan.


"Sebagian negara sudah lain perlahan meninggalkan industri ekstraktif dan memilih pendekatan lain, misalnya pengembangan ekonomi hijau, blue economy, atau sektor ekonomi kreatif,” ujarnya.


Indonesia, katanya, memiliki potensi besar dalam sektor perkebunan (teh, kopi, kakao, cengkeh) dan bisnis karbon. Begitu pula kekayaan energi terbarukan seperti panas bumi, surya, dan angin yang harus mulai digarap secara serius.


Ia menekankan bahwa dalam menghadapi era transisi energi, Indonesia tidak bisa terus bergantung pada batu bara, mineral, minyak, atau gas bumi. Di masa depan, industri ekstraktif mungkin tidak lagi menjadi pilihan utama dalam upaya peningkatan penerimaan negara atau akselerasi untuk meningkatkan perekonomian Indonesia.


Hal ini bisa terwujud jika pemerintah dan stakeholder terkait mau beralih mengembangkan potensi ekonomi yang dimiliki Indonesia selain industri ekstraktif.


"Industri ekstraktif memang masih primadona dan banyak diminati karena digunakan dalam pengembangan kendaraan listrik dan teknologi lainnya, tapi belum optimal,” jelasnya.


Industri ekstraktif juga punya problem lingkungan. Krisis iklim semakin nyata dan mengancam kehidupan. Sementara perekonomian masih bergantung dari hasil kegiatan usaha industri ekstraktif.


"Diperlukan upaya serius dan konkret agar kegiatan industri ekstraktif bisa tetap dilakukan dengan syarat mitigasi risiko dengan perbaikan serta pemulihan terhadap lingkungan dan ekosistemnya," ujar dia.


Akmal menilai sektor ekstraktif masih sebatas hilirisasi belum menjadi sistem industrialisasi. Ia menilai kegiatan usaha pertambangan, baik mineral dan batu bara maupun migas, belum memberikan dampak signifikan terhadap kesejahteraan rakyat sebagaimana yang dijamin konstitusi.


"Itu sebabnya ketika terjadi deindustrialisasi, perekonomian kita bisa terganggu,” ujarnya.


Ia berharap pemerintah segera memperbaiki tata kelola dan kebijakan agar tidak terlalu bergantung pada industri ekstraktif, mengingat sektor ini memiliki banyak variabel risiko termasuk gejolak geopolitik global.


"Kondisi perang seperti antara Israel dan Iran akan memicu lonjakan harga energi dan berdampak pada perekonomian Indonesia yang masih sangat bergantung pada energi fosil. Harga-harga minyak akan melesat dan berdampak pada kebutuhan ekonomi," jelasnya.


Lebih lanjut, ia menekankan bahwa kegiatan hilirisasi nikel dan batubara yang ada saat ini belum cukup kuat menghadapi gejala deindustrialisasi. Selain belum stabil, kegiatan ini juga menimbulkan masalah ketimpangan ekonomi, ketidakadilan, sosial, lingkungan, dan kesehatan masyarakat sekitar tambang.


"Jadi kegiatan hilirisasi sesungguhnya kurang efektif dalam menghadapi deindustrialisasi karena dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan usaha di hulu tidak dibatasi dan makin merusak lingkungan dan menimbulkan ketergantungan sektor SDA ekstraktif," tandasnya.


Hal ini sejalan dengan analisis Bagong Suyanto dalam artikel berjudul “Deindustrialisasi, Hilirisasi, dan Kemiskinan” yang terbit di Kompas.id tahun 2023. Dalam artikel tersebut, disebutkan bahwa di atas kertas, strategi hilirisasi memang menjadi jawaban untuk mengatasi indikasi terjadinya deindustrialisasi. 


"Hanya masalahnya, ketika hilirisasi dan reindustrialisasi yang dikembangkan sifatnya cenderung padat modal dan berbasis teknologi tinggi, bukan tidak mungkin hal itu justru melahirkan dampak yang sebaliknya," tulis Bagong.


Misalnya, hilirisasi hasil tambang di wilayah Sulawesi dan Maluku. Meskipun berhasil memacu pertumbuhan ekonomi yang tinggi, ternyata di sisi lain ia menyebabkan persentase penduduk miskin di daerah tersebut justru naik ketika angka kemiskinan di daerah lain turun.


"Kontradiksi yang terjadi di daerah sentra penghasil dan pengolah nikel di atas tentu memprihatinkan," kata guru besar sosiologi Universitas Airlangga itu.