Nasional

Pendidikan Inklusif Solusi Cegah Kasus Perpeloncoan dan Kekerasan

Jumat, 9 September 2022 | 13:00 WIB

Pendidikan Inklusif Solusi Cegah Kasus Perpeloncoan dan Kekerasan

Ilustrasi pembelajaran dan pendidikan inklusif. (Foto: NU Online)

Jakarta, NU Online

Perpeloncoan atau perundungan masih kerap terjadi dunia pendidikan. Meski sudah banyak ditentang, nyatanya masih banyak korban berjatuhan karena mengalami kekerasan, baik fisik maupun psikis. 


Belum lama ini dilaporkan terjadi kasus perpeloncoan di Pondok Pesantren Modern Darussalam, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Korbannya santri putra asal Palembang, Sumatera Selatan Albar Mahdi (15) yang meninggal dunia akibat tindakan kekerasan oleh santri lain.


Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Abdullah Ubaid Matraji menjelaskan kasus perpeloncoan di satuan pendidikan terjadi bukan kali pertama karenanya harus ditangani secara serius oleh pemerintah.


"Tampaknya pemerintah masih santai-santai saja. Menyikapi kasus tersebut maka harus ada kebijakan pencegahan kekerasan di institusi pendidikan," kata Ubaid kepada NU Online, Jumat (9/9/2022).


Kebijakan ini menurutnya dimulai dengan membuat sebuah sistem pengawasan, kemudian edukasi dan sistem deteksi dini. "Termasuk pelibatan semua pihak secara inklusif," katanya.


Institusi pendidikan juga diharapkan lebih terbuka menunjukkan komitmen terwujudnya pendidikan yang inklusif.


"Jangan jadikan institusi pendidikan sebagai institusi yang eksklusif atau tertutup. Harus di dijadikan sebagai institusi yang inklusif," jelasnya.


Sebelumnya, Ketua Umum (Ketum) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf menegaskan bahwa insiden yang terjadi di Pesantren Gontor merupakan alarm peringatan bagi lembaga pendidikan untuk dapat meningkatkan pengawasan di segala bentuk kegiatan pembelajaran. 


“Kami menyerukan kepada pesantren, khususnya di lingkungan NU, untuk lebih memperhatikan lagi masalah sistem pengawasan santri-santri,” kata Gus Yahya, Rabu (7/9/2022) lalu.


Ia berharap, peristiwa itu bisa menjadi pembelajaran bersama terkait pengelolaan sistem pengawasan pesantren untuk menghindari potensi terulangnya kejadian serupa.


“Mudah mudahan di masa yang akan datang dikelola dengan baik dan bisa dicegah hal ini terulang,” harap kiai kelahiran 16 Februari 1966 itu.


Menurutnya, pesantren mengharamkan tindak kekerasan sebagai bentuk hukuman. Umumnya, sanksi yang diterapkan justru mengajarkan pelanggar untuk lebih disiplin dan tidak mengulangi kesalahan serupa. 


“Biasanya, sanksi itu kerja bakti atau membuat tugas belajar yang dilipatgandakan, tapi tidak dengan kekerasan. Jika sampai ada seperti itu, secara mutlak harus kita tolak, jangan sampai ada itu,” tutur Gus Yahya.


Penjatuhan sanksi dalam bentuk kekerasan sangat tidak relevan dengan perkembangan saat ini. 


“Jangan sampai santri itu disanksi dengan kekerasan. Ini zamannya sudah berbeda, dan jangan disamakan dengan legenda seperti kiai yang memukul santri lalu santrinya pintar. Tidak begitu,” pungkas Gus Yahya. 


Kontributor: Suci Amaliyah

Editor: Fathoni Ahmad