Nasional

Aksi Kamisan Ke-876, Negara Abai Tuntaskan Kasus Pembunuhan Munir

NU Online  ·  Kamis, 4 September 2025 | 21:00 WIB

Aksi Kamisan Ke-876, Negara Abai Tuntaskan Kasus Pembunuhan Munir

Istri Munir, Suciwati saat menghadiri Aksi Kamisan Ke-876 memperingati 21 tahun pembunuhan Munir. Aksi digelar di depan Istana Negara, Jakarta, pada Kamis (4/9/2025). (Foto: NU Online/Fathur)

Jakarta, NU Online

Aksi Kamisan Ke-876 digelar di depan Istana Presiden, Jakarta Pusat, Kamis (4/9/2025). Aksi kali ini memperingati 21 tahun pembunuhan terhadap aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir Said Thalib pada 2004 silam.


Seperti biasa, peserta Aksi Kamisan hadir di lokasi mengenakan pakaian serba hitam dan membawa payung hitam, simbol perlawanan terhadap pelanggaran HAM berat yang belum diselesaikan negara.


Mereka berdiri dalam barisan di seberang Istana Negara, menuntut agar pemerintah serius menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat, terutama kasus pembunuhan Munir yang hingga kini belum terungkap dalangnya.


Istri almarhum Munir, Suciwati menegaskan bahwa Aksi Kamisan telah berlangsung secara konsisten selama 18 tahun sebagai ruang perlawanan damai. Namun menurutnya, negara tetap abai dalam menunaikan janji penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM.


“Sudah 18 tahun kita berdiri damai, tapi apakah ada yang datang? Tidak ada. Apakah ada implementasi progres yang dijanjikan? Tidak ada. Dalam kasus Munir saja sudah beberapa Presiden berjanji, tapi nyatanya tidak ada yang menuntaskan,” ujar Suciwati.


Menurutnya, pemerintah sering membangun narasi bahwa aspirasi harus disampaikan secara damai. Namun, bukti menunjukkan bahwa sekalipun puluhan tahun masyarakat melakukan protes secara damai, negara tetap tidak hadir memberi keadilan.


“Kalau rakyat marah, jangan salahkan rakyat. Karena yang memprovokasi justru negara yang terus mengingkari janji," tambahnya.


Suciwati juga menyoroti situasi politik dan keamanan yang menurutnya kembali mengulang pola masa lalu.


"Hari ini kita melihat militerisme mulai berjalan lagi, ada penculikan, ada orang hilang, penangkapan sewenang-wenang. Akar masalahnya tidak pernah diselesaikan," tegasnya.


Ia menyebut, penggunaan kekerasan negara terhadap rakyat hanya memperlihatkan wajah otoritarianisme yang sama sekali tidak punya rasa malu.


"Kalau pejabat salah, harusnya dibawa ke pengadilan. Tapi yang terjadi justru impunitas dibiarkan, dan uang rakyat terus dihamburkan untuk mempertahankan kekuasaan," ucapnya.


Suciwati menekankan bahwa Kamisan adalah upaya kolektif untuk merawat ingatan publik. Ia menolak pandangan bahwa aksi ini didorong dendam, melainkan untuk menjaga agar sejarah kelam tidak dilupakan.


"Ini bukan soal dendam. Kita sedang menolak lupa, menghapus impunitas, dan terus mendorong tegaknya keadilan,” katanya.


“Kalau negara membangun narasi untuk mendiskreditkan korban, Kamisan hadir untuk membuktikan sebaliknya yaitu bahwa korban tidak bisa dibeli, dan perjuangan tidak bisa dibungkam," terangnya.


Suciwati juga menyoroti keterlibatan generasi muda dalam Aksi Kamisan yang kini tersebar di 72 kota, bahkan hingga luar negeri. Menurutnya, hal itu menjadi tanda bahwa perjuangan menegakkan keadilan mendapat dukungan lintas generasi.


"Anak-anak generasi sekarang melihat Kamisan sebagai contoh konkret bahwa demo bisa damai, konsisten, dan teguh memperjuangkan keadilan. Mereka butuh figur nyata untuk belajar, dan Kamisan memberi ruang itu," jelasnya.


Munir dikenal sebagai pejuang hak asasi manusia yang gigih membela korban pelanggaran HAM, mulai dari kasus penculikan aktivis 1998 hingga tragedi di berbagai daerah konflik. Namun 21 tahun setelah kematiannya, negara dinilai gagal mengungkap dalang pembunuhan tersebut.


Bagi Suciwati, warisan perjuangan Munir tidak boleh berhenti. Ia menilai, Munir sudah memberi contoh sejak dulu, bahkan saat militer sangat kuat.


"Ia (Munir) berani menunjuk langsung siapa yang bertanggung jawab. Itu pintu bagi rakyat untuk percaya bahwa melawan ketidakadilan itu mungkin," katanya.


Aksi Kamisan pertama kali digelar pada 18 Januari 2007 oleh keluarga korban pelanggaran HAM bersama para aktivis. Sejak itu, aksi ini terus berlangsung setiap Kamis sore di depan Istana Negara, menjadikannya salah satu bentuk protes sipil paling konsisten di Indonesia.


"Selama keadilan belum ditegakkan, Kamisan akan terus hadir," tegas Suciwati.