Nasional MQKN 2023

Prof Ramdhani: Tugas Santri dan Mahasantri Menganalisis Masalah Kontekstual

Rabu, 12 Juli 2023 | 09:00 WIB

Prof Ramdhani: Tugas Santri dan Mahasantri Menganalisis Masalah Kontekstual

Dirjen Pendis Kemenag Prof M Ali Ramdhani saat membuka resmi MQKN 2023 di Pesantren Sunan Drajat Lamongan, Jatim, Selasa (11/7/2023) malam. (Foto: NU Online/Amar)

Lamongan, NU Online
Direktur Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) Kemenag, Prof M Ali Ramdhani, mengatakan bahwa fenomena sekarang yang menjadi episentrum sebuah peradaban dari proses dakwah adalah komunitas perempuan.


Hal tersebut dikatakannya saat menyampaikan arahan sekaligus membuka resmi Musabaqah Qiraatil Kutub tingkat Nasional (MQKN) 2023 di Pondok Pesantren Sunan Drajat Lamongan, Jawa Timur, Selasa (11/7/2023) malam.


Ia menjelaskan bahwa ada dua proposisi (pernyataan) penting. Pertama, perempuan merupakan bibit-bibit nilai keagamaan. Hal tersebut dibuktikan dengan majelis taklim penuh dengan perempuan. Kemudian di sisi lain ada proposisi kedua bahwa masjid merupakan pusat pergerakan umat Islam.


“Ketika proposisi satu dan dua digabungkan, untuk mengoptimalkan sebuah proses dakwah, maka perempuan harus menggunakan masjid sebagai episentrum peradaban,” ujar Kang Dhani, sapaan akrabnya.


“Tetapi, di sisi lain ada doktrin keagamaan yang melarang perempuan pada titik tertentu, pada persoalan tertentu, jangankan diam di masjid, lewat dalam masjid saja tidak boleh,” sambung guru besar UIN Sunan Gunung Djati Bandung ini.


Oleh karena itu, kata Ketua LP Ma'arif PBNU ini, tugas para santri dan mahasantri peserta MQKN 2023 ini adalah melakukan bedah analisis terhadap masalah kontekstual, menjawabnya dengan pisau analisis yang ada dalam kitab turats.


“Masalah kontekstual semacam itu menjadi penting untuk dibahas, karena fiqih selalu dibahas sepanjang masa. Sama halnya ketika melihat penceramah perempuan itu luar biasa, logika yang matang, kejiwaan yang bijaksana, disampaikan kalimat yang tertutur melalui suara. Tetapi, ada satu doktrin menyebut bahwa suara perempuan adalah aurat,” ungkapnya.


Maka dari itu, tugas para santri dan mahasantri adalah bagaimana kemudian ruang kekinian harus dijawab melalui khazanah yang kita miliki, sehingga apa dilakukan tidak melanggar. Caranya dengan pisau analisis yang ada dalam kitab turats.


Sebelumnya, Dirjen Pendis menjelaskan bahwa rekontekstualisasi agama merupakan upaya penting di tengah komunitas yang memahami agama secara leksikal, yang kemudian menjadi referensi bagi masyarakat umum sehingga kerap kali terjadi salah paham.


“Rekontekstualisasi agama menjadi penting ketika dituangkan pada harmoni dan kerukunan, bagaimana menerjemahkan agama secara proporsional. Sama halnya ketika meneladani apa yang dilakukan oleh Sunan Drajat dalam mengajarkan agama selalu mengedepankan kerukunan, asimilasi dengan budaya tanpa mengganggu esensi agama,” terangnya.


“Sebaliknya agama menjadi peneduh dalam kehidupan dan dilengkapi ruang-ruang kebudayaan sebagai pelengkap dari seluruh peradaban,” sambung Prof Dhani.


Lebih lanjut, pria kelahiran Garut, 6 November 1971, ini mengungkapkan bahwa dari pesantren belajar bahwa agama tidak akan pernah masuk ke ruang pribadi dengan cara kekerasan.


“Di pesantren kita diajarkan bahwa santri-santri itu harus memiliki potret wajah yang ramah, tidak marah. Yang mengajak, tidak mengejek. Yang membina, tidak menghina. Yang mencintai, tanpa mencerca. Yang merangkul, tidak memukul,” tutur Kang Dhani.


“Kita percaya bahwa alumni pesantren adalah mereka yang memiliki jiwa yang lembut. Karena sesungguhnya keilmuan seseorang tampak ketika dia mampu mengimplementasikan ke dalam perilaku yang lembut,” pungkasnya.